Mohon tunggu...
Elina A. Kharisma
Elina A. Kharisma Mohon Tunggu... Guru - Berbagi hal baik dengan menulis

Seorang kutu buku dan penikmat musik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Koreksi Menguras Hati

3 Mei 2017   14:14 Diperbarui: 3 Mei 2017   14:25 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Memeriksa pekerjaan para siswa bukanlah hal yang mudah. Kalau akan memeriksa pekerjaan anak-anak terutama memeriksa karangan atau esai, saya hampir selalu merasa perlu untuk mengambil iancang-ancang dulu. Bila perlu memperlengkapi diri dengan cemilan atau minuman yang menyegarkan. Kenapa begitu?

Tahukah Anda kalau tulisan anak-anak sangat bervariasi mulai dari yang sangat rapi sampai yang membuat saya harus menyipitkan mata untuk membacanya? Ada juga yang tulisan tangannya super besar sampai garis di buku tidak cukup lebar untuk "menampung" huruf-huruf yang dituliskan. Sebaliknya, ada juga yang tulisannya berukuran mini sampai rasanya saya harus lari ke laboratorium untuk pinjam kaca pembesar.

Tidak ada hanya masalah tulisan, ada juga anak yang menjujung tinggi prinsip "kebersihan sebagian dari iman". Maksudnya anak itu lebih milih untuk tidak menjawab daripada salah atau mencoba. Kalau yang ini sih gampang, tinggal saya coret nomornya untuk menandai kalau salah, Tapi, masa iya dibiarkan kosong dan bersih?

Ada anak-anak yang menjawab pertanyaannya, tulisan juga rapi atau sedikit tidak rapi, intinya kalau dilihat sekilas terlihat oke. Nah, ketika saya baca jawabannya saya cuma menepuk jidat lalu membuat catatan di sana-sini sambil bertanya, "Kok bisa jawabannya seperti ini?" Thinking out of the box? Bukan itu. Maksudnya, jawabannya nggak nyambung. Pertanyaannya apa, jawabnya apa. Entah karena tidak paham maksud pertanyaannya, tidak tahu jawabannya, atau sangat percaya diri.

Selain itu, koreksi pekerjaan anak-anak menjadi lebih berat kalau banyak yang mendapat nilai kurang dari batas ketuntasan. Artinya, mungkin ada yang kurang pas cara mengajarnya, soal terlalu susah, atau perintahnya tidak jelas. Jadi, saya harus mengulang kembali kembalii materi itu dengan anak-anak lalu berikan soal latihan atau tes yang baru..

Yang terakhir, koreksi itu melelahkan kalau jumlahnya banyak. Jumlah pertanyaan, jumlah tugas, dan jumlah kelasnya banyak. Jadi, kalau hari akhir pekan saya ada di sekolah, kemungkinan besar saya sedang rock and roll dengan pekerjaan anak-anak.

Setelah berkali-kali mengalami koreksi menguras hati, saya pun belajar kalau memberi tugas pada murid tidak harus banyak. Salah satu caranya adalah dengan mengintegrasikan beberapa kompetensi dalam satu tugas. Ini cukup efektif untuk mengurangi jumlah tugas. Kedua, saya mulai mengajari anak-anak untuk memeriksa perkerjaan teman. Jelas ini bukan soal esai. Untuk melakukan strategi yang kedua, saya  harus merelakan jam mengajar untuk koreksi bersama.  Yang terakhir, saya melatih diri saya untuk koreksi sedikit demi sedikit di waktu luang, di sela-sela jam mengajar supaya tidak ada penumpukan pekerjaan.

Bapak dan Ibu guru? Apakah pernah mengalami hal yang sama? Semoga dengan bertambahnya jam terbang, intensitas koreksi yang menguras hati bisa semakin berkurang. Semangat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun