Mohon tunggu...
Elina A. Kharisma
Elina A. Kharisma Mohon Tunggu... Guru - Berbagi hal baik dengan menulis

Seorang kutu buku dan penikmat musik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Di Balik Gaya Bicara Pak Ahok

6 April 2015   16:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:28 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir-akhir ini media didominasi oleh berita perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta dengan DPRD. Pak Ahok, Sang Gubernur, mengungkap adanya dana siluman sebesar belasan milyar rupiah. Dana tersebut dianggarkan untuk membeli perangkat UPS untuk sekolah-sekolah. Anggaran sebesar itu dianggap tidak masuk akal. Banyak pihak pun mulai menelusuri fakta terkait harga UPS, keberadaan perusahaan perakit UPS, bahkan mengorek informasi dari sekolah yang direncanakan menerima perangkat tersebut. Hal ini pun sangat membantu publik untuk memahami alasan Pak Ahok bersikeras mengungkap masalah ini.

Tentu saya ikut prihatin dengan keberadaan orang-orang berdasi yang mencuri uang rakyat dengan memanipulasi anggaran, tetapi ada hal yang lebih menarik yang penting untuk disoroti. Bagi saya, hal yang lebih menarik adalah pribadi Sang Gubernur. Segelintir orang, termasuk anggota dewan, tidak hanya menyoroti masalah macetnya anggaran DKI Jakarta karena Pak Gubernur menyatakan ada dana siluman, tetapi juga membicarakan tentang sikap Pak Ahok. Pak Ahok dianggap tidak santun karena berbicara dengan ‘nada tinggi” dan lantang sehingga terdengar kasar. Saat saya melihat tayangan rapat antara anggota dewan dengan Pak Ahok, saya tidak mendengar adanya kata-kata kasar atau umpatan yang diucapkan oleh Pak Ahok. Apakah ukuran kesopanan hanya semata-mata diukur dengan gaya bicara? Lalu, bagaimana dengan orang yang terlihat santun tutur katanya namun ternyata diam-diam mengambil hak rakyat? Selain gaya bicaranya, apakah ada hal lain dari beliau yang patut kita perhatikan?

Menurut saya, tindakan Pak Ahok dalam mengungkap kejanggalan anggaran DKI Jakarta bukanlah tindakan yang sembarangan. Beliau tahu betul hal itu akan mempengaruhi kelangsungan program-program kerja di DKI Jakarta. Akan tetapi perlu disadari bahwa setiap tindakan pasti ada resikonya. Ambisi Pak Ahok mengungkap kejanggalan anggaran DKI Jakarta pun harus mempertaruhkan jabatannya daripada uang rakyat digunakan untuk hal-hal yang tidak tepat guna. Jelaslah bahwa Pak Ahok tidak memprioritaskan jabatan. Hal ini sungguh bertentangan dengan kebanyakan orang yang berani mempertaruhkan uang demi jabatan. Prinsipnya terlihat jelas bahwa kebenaran harus ditegakkan tidak peduli resikonya. Mungkin ada banyak pemimpin yang menyadari adanya ketidakberesan dalam lingkungannya, namun seberapa banyak yang berani untuk menyingkapkan ketidakberesan itu? Pemimpin yang berani memperjuangkan kebenaran pastilah pemimpin yang mempunyai prinsip, tidak gila jabatan dan harta, tidak memusingkan pencitraan, dan mendedikasikan dirinya untuk kepentingan rakyat bukan untuk kepentingan partai atau kelompok tertentu. Figur pemimpin yang seperti inilah yang sadarkalau dirinya mengemban mandat dari rakyat.

Dari kejadian ini, dapat diketahui dengan jelas bahwa Pak Ahok adalah pemimpin yang cerdas. Dengan nalarnya, dia jeli melihat ketidakberesan dalam sistem yang akan merampas hak masyarakat. Kecerdasannya digunakan untuk meluruskan hal yang melenceng dari kebenaran. Bukankah memang seharusnya seperti itu? Sudah cukup banyak yang mengungkap perbuatan tidak terpuji orang-orang yang mempunyai jabatan, pintar dan bergelar tinggi dari universitas terkemuka (bahkan universitas di luar negeri). Ternyata sosok penjahat yang digambarkan dalam seorang pribadi cerdas dan terhormat tidak hanya terdapat dalam film saja. Di negara ini, hal itu benar-benar terjadi. Sangat menyedihkan.

Dalam suatu acara talkshow, Pak Ahok secara terang-terangan menjelaskan tentang imannya. Prinsip-prinsip yang diajarkan dalam kepercayaannya yang menginspirasinya dan dijadikan dasar tindakannya. Jelaslah iman Pak Ahok bukan sekedar untuk kepentingan melengkapi data dalam KTP. Iman tersebut diwujudkan dalam kehidupannya termasuk saat beliau mengemban tugas sebagai seorang gubernur. Prinsipnya dibangun dari imannya. Berapa banyak orang atau organisasi yang mengatasnamakan agama namun malah membuat resah masyarakat? Ada juga segelintir orang yang banyak aksi dengan dalih membela nama Tuhan tetapi malah merusak citra organisasi dan agamanya. Apakah betul demikian cara menghidupi iman kita? Besarnya iman tidaklah ditunjukkan dengan gelar keagamaan, pakaian yang mencolok atau meneriakkan nama Tuhan di tempat-tempat umum. Menurut saya, besarnya iman seseorang ditunjukkan dari sikap orang tersebut saat menghadapi cobaan karena iman yang benar akan selalu diuji. Bagi Pak Ahok, berhadapan dengan orang yang tidak jujur adalah sebuah ujian. Namun, sejauh ini beliau tetap tegas untuk memperjuangkan kebenaran. Seharusnya Indonesia bangga mempunyai pemimpin yang beriman.

Saya memang bukan penggemar Pak Ahok. Saya hanya tidak tahan untuk membagikan kekaguman saya kepada beliau. Semoga semakin banyak pemimpin yang sadar bahwa mereka seharusnya memperjuangkan hak-hak rakyat apapun resikonya. Sudah saatnya kita tidak membesar-besarkan kekurangan orang hanya karena suku, ras, dan agama. Jangan sampai gaya bicara Pak Ahok yang dianggap tidak santun membuat kita menutup mata akan karakter saleh yang dimiliki beliau. Semoga di negara ini tidak hanya saya yang bersyukur akan kehadiran seorang pemimpin yang melayani rakyat dengan memperjuangkan hak-hak rakyat dan menanggung resikonya. Sekali lagi, saya bukanlah penggemar Pak Ahok lalu membenci politisi yang lain. Saya hanya terinspirasi oleh beliau. Paling tidak beliau menginspirasi saya untuk menuliskan refleksi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun