Mohon tunggu...
Elina A. Kharisma
Elina A. Kharisma Mohon Tunggu... Guru - Berbagi hal baik dengan menulis

Seorang kutu buku dan penikmat musik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kasus Kekerasan Seksual Menyisakan Tanya yang Perlu Dijawab dengan Aksi Nyata

18 Mei 2016   14:13 Diperbarui: 18 Mei 2016   14:30 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir-akhir ini pemberitaan di berbagai media diwarnai oleh kejadian pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di banyak wilayah di Indonesia. Di antaranya bahkan dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, diakhiri dengan pembunuhan, terjadi di rumah juga di sekolah. Baik laki-laki maupun  perempuan, tua atau muda menjadi korban kejahatan seksual. Di samping itu, hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku dinilai tidak setimpal dengan kejahatan yang mereka lakukan. Keluarga korban dan masyrakat luas pun kecewa.

Kenyataan yang seperti ini sungguh menyedihkan. Tidak mengherankan jika berbagai aksi solidaritas dilakukan untuk mengekspresikan keprihatin sekaligus menyerukan tuntutan-tuntutan demi  Indonesia yang bebas dari kekerasan dan pelecehan seksual.

Selain merasa prihatin,  fenomena ini membuat saya banyak bertanya karena menurut saya, minuman keras, video porno, tempat sepi, cara berpakaian hanyalah pemicu saja. Ada hal lain yang menjadi akar masalahnya. Inilah yang membuat saya bertanya-tanya.

Pertanyaan terbesar yang muncul di kepala saya adalah alasan yang membuat para pelaku tidak takut melakukan pelecehan dan kekerasan seksual? Apakah ada yang salah dengan hukum di Indonesia? Apakah pengalaman di masa lalu tentang penindakan kejahatan seksual tidak membuat orang jera? Atau jangan-jangan malah ada kasus-kasus yang dilupakan atau dibiarkan sehingga menjadi semacam peluang untuk kejadian-kejadian serupa terulang kembali? Selain itu, umur pelaku menjadi bahan pertimbangan pemberian ganjaran hukum. Lalu, bagaimana dengan korban? Apakah ada akomodasi dari pemerintah untuk korban yang nyaris kehilangan masa depannya?

Kejahatan seksual tidak dilakukan oleh orang yang tidak pernah merasakan bangku sekolah. Diantaranya malah masih berstatus pelajar. Ada pula tenaga pendidik yang melecehkan siswanya. Mengapa wajib belajar 9 tahun tidak berhasil membentuk karakter anak? Apa yang kurang dengan pendidikan Indonesia sehingga orang yang disebut sebagai pelajar atau kaum terpelajar malah melakukan tindakan tidak terpuji?

Selain sekolah, keluarga juga mempunyai peran penting dalam mendidik anak. Malah banyak orang  mengatakan bahwa pendidikan dimulai dari keluarga. Lalu, bagaimana potret keluarga di Indonesia jika kekerasan dan pelecehan terjadi di rumah atau dilakukan oleh orang-orang yang disebut sebagai keluarga korban? Bukankah seharusnya keluarga merupakan tempat untuk menanamkan nilai-nilai hidup yang baik termasuk ajaran agama? Bagaimana peran ajaran agama terhadap pembentukkan karakter anak? Mungkinkah anak-anak hanya ditekankan untuk pandai melafalkan doa-doa dan rajin pergi ke tempat ibadah namun “lupa” untuk diberi pemahaman bahwa sebagai manusia harus menghormati sesamanya?

Pada situasi yang seperti ini, slogan lelaki harus melindungi perempuan tentu tidak lagi relevan karena anak laki-laki pun menjadi korban. Slogan ini juga mendukung pemahamanbahwa laki-laki lebih superior dibandingkan dengan perempuan yang seolah-olah begitu ringkih sehingga butuh perlindungan. Orang akan berpikir kalau wajar wanita mengalami pelecehan karena memang perlu dilindungi. Jadi, penting untuk mengadakan sebuah gerakan untuk membentuk pola pikir bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara dan harus saling menghargai.

Selain itu, hukum Indonesia harus tegas. Termasuk tegas mengusut peristiwa kejahatan-kejahatan seksual di masa lampau untuk membuktikan komitmen dan keseriusan menghapus kekerasan dan pelecehan seksual. Setiap laporan yang masuk harus ditanggapi dengan sigap agar kasus mudah terungkap, bukan menguap karena proses yang bertele-tele. Pemberian hukuman yang setimpal tidak hanya untuk memuaskan tuntutan keluarga korban atau menyenangkan masyarakat yang geram karena kejahatan seksual yang terjadi, tetapi juga untuk membuat orang jera dan enggan untuk melakukan kejahan yang serupa.

Kejadian-kejadian tragis seperti ini tidak boleh terulang kembali. Indonesia harus menjadi tempat yang aman untuk didiami baik untuk anak-anak, orang dewasa, laki-laki maupun perempuan. Mari, dimulai dengan saling menghargai. Semoga pertanyaan saya dijawab dengan aksi nyata oleh pihak-pihak yang merasa berkewajiban menjawabnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun