Udara senja dengan mesrah membelai rambut ini. Rambut yang begitu hati-hati ku merawatnya, yang setiap minggu ku creambath, ku bleacing dan satu bulan sekali ku catok. Begitu pun jemari-jemari ku yang lentik yang selalu ku rapikan, tanggai panjang nan indah terlihat semakin memperindah jemariku. Diam-diam senja berbisik pada rerumputan, nyiur hijau dan ilalang menyapa merdu bersama desah angin yang membuaiku. Ternyata mentaari mulai bersembunyi seakan malu menatap indahnya Tubuh ini.
Agus begitu nama kecilku, nama yang selalu membayang-bayangi kemana ku melangkah, nama yang memaksaku memutar kembali film kehidupanku pada 20 tahun yang lalu. Saat aku di lahirkan tanpa selembar benang pun, saat aku dinyatakan berjenis kelamin laki-laki. Dan juga sebuah nama yang memaksaku kembali pada masa 15 tahun yang lalu, saat yang menggembirakan bagi seluruh kaum adam, awal dimana kesejatiannya seorang muslim, saat dimana ku dinyatakan benar-benar menjadi seorang laki-laki yang telah mampu menunaikan sunnah rasul yang pertama, meski usia ku belom baligh. Sungguh merupakan kegetiran hati ku hingga saat ini. Tak pernah ku sesali kenyataan ini, dan aku kini adalah seorang Anggini yang anggun.
Gus….Sapa Ibu dengan lembut, bergegaslah shalat, waktu magrib telah tiba semua telah menunggumu di ruang shalat. Iya Bu…balas ku dg malas. Aku selalu benci dengan situasi yang seperti ini, dimana aku harus menggenakan sarung dan peci. Inilah saat dimana aku kehilangan kesejatian diri ini. Saat dimana aku bertentangan dengan kenyataan. Ahh….bila saja aku di bolehkan menggenakan mukenah dan berasa di saf paling belakang, sejajar dengan adikku Intan. HemmMM…..ku hembuskan nafas dengan panjang. Meskipun aku tak suka situasi seperti ini, aku tetap harus melaksanakan kewajba nku sebagai seorang hamba. Namun pantat ini terasa panas dan semakin panas berada si situasi seperti ini. Ia memanggang tubuhku dengan suhu tertinggi 100 derajat celcius dan memaksaku untuk segera berlalri mencari kesejukan.
Tepat pukul 18.30 WIB semua prosesi shalat berjamaah telah selesai di lakukan dengan khusyu, hanya aku yang selalu mencurahkan rasa tak nyaman bahkan benar-benar tak khusyu dalam mengerjakan kewajibanku. Aku selalu mencari-cari cara dan alasan untuk tidak ikut shalat berjamaah. Aku merasa lebih nyaman mengerjakannya sendiri di kamarku, dengan mukenah yang ku jahit sendiri dan dengan aturan-aturan yang ku buat sendiri, tidak berpeci dan bersarung, tidak berada di barisan pertamaa. Namun aku tak mampu menolak permintaan Ibu. “Gus….meski sejatinya dalam dirimu adalah wanita, Ibu hanya minta satu hal padamu nak, Kenakanlah oakaian layaknya seorang Pria saat shalat, Lucuti semua rasa keperempuananmu, anting di telingamu, selepas tu kau boleh lakukan apapun sesukamu!”. Mungkin sudah tak ada lagi kata-kata yang mampu di berkan ibu kepadaku. Semua telah ku telan habis, namun tak juga mampu merubah kesejatian jiwa ini.
“Kamar Anggini”…Begitu ku berikan nama untuk kamarku, siapap pun dilarang masuk tanpa seizin Anggini, dengan Jelas Tulisan pada kayu jati berwarna coklat yang di spanis rapi dengan tulisan Bradley Hand ITC itu tertera di dinding pintu kamar Anggini dan sebuah Photo berbingkai dengan rantai keemasan terjuntai di bawah tulisan namanya yang begitu anggun dengan rambut lurus terjuntai, mengembangkan senyum termanisnya, dan berfose ala Sandra Dewi.
Bergegas ku lucuti peci dan sarungku, Kembali ku kenakan blus malamku, Ahh…nyaman sekali rasanya, ku hela dengan panjang nafas ini. Enggan sekali ku menyentu peci dan sarung ini, Huuhh…untung Cuma satu, kalo banyak bias stress dan gue. Dengan malas Anggini menggantungkan sarung dan pecinya.
Bluss….segera Anggini membuka jendela kamarnya, ternyata Rembulan sudah setia menunggu dengan senyuman yang memujinya, dan bintang-bintang yang bermain mata kepada Anggini. Telah di persiapkan dengan sempurna kamera dunia, Anggini berceritalah paksa Angin. Bulan, Bintang….aku ingin menjadi wanita sejatisss, aku ingin memliki dada seperti wanita lainnya, aku juga ingin setiap bulannya merasakan bagaimana khawatir dan repotnya menjadi wanita. Andai saja engkau mampu membantuku tuk merubah semuanya. Wajah cantik Anggini tiba-tiba melipat, butiran-butiran mutiara mulai keluar dari persumbunyiannya yang begitu rapat, menjadikannya anak sungai kecil yang mengalir perlahan di pipinya yang putih merona.
Heii…kamu sedang menangis Anggini, ada apa? Tanya anton yang mendebarkan kencang jantungnya. Kalau kamu menangis hilang lho cantiknya, rayu Anton sembari menyapu air mata Anggini dengan ke dua ibu jarinya. Senyum manis kembali di keluarkan Anggini. Nah…ginikan cantik, coba ceritakan ada apa?. Dengan manja Anggini merebahkan kepalanya ke Bahu Anton. Hiks-hiks-hiks….Isak Anggini, Aku ingin menjadi wanita sejati Anton, aku ingin seperti mbak Dorce Gamalama yang bisa mengubah jenis kelaminnya dan memiliki soerang kekasih yang akan menikahinya di Belanda.
Anggini kamu tahu apa yang aku suka darimu?” Tanya Anton”. Ketegaranmu, semangatmu, dan rasa percaya dirimu. Aku yakin Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk kita, begitu juga dengan adanya kita saat ini. Anggini, dulu kita selalu bermain boneka bersama, menghabiskan make up mama, seperti badut aku menghiasai wajahmu. Kamu tahu kenapa aku tetap menjadi Pra sejari, meski setiap hari kita bergaya dan bermain seperti wanita?. Karena aku mencintai Tubuh ini secara keseluruhannya. Aku selalu bersyukur atas apa saja yang tuhan berikan kepadaku, karena itulah yang paling baik untuk ku. Aku ingin engkau mensyukuri atas saja yang tuhan berikan. Kita msaih bisa bergaya dan menjadi anggun sepert wanita, namun kita tidak boleh meruntuhkan semua kpdrat yang ada pada kita.
Kamu bener-bener tak mengerti Anton..!!!..Setiap hari aku mendengar kata-kata seperti ini, telah sering juga aku mencoba tapi nyatanya aku tak bisa, rasa keperempuananku terlalu tinggi bahkan aku menyukaimu Anton..!!!..
Dedaunan tak berani bergerak, rembulan dan bintang bersembunyi, dunia senyap seketika. Anton mengatup bibirnya rapat-rapat, sekujur tubuhnya terasa kaku, dan tatapan matanya kosong, bahkan Ruhnya pun seakan ingin berlari dari raganya. Kenapa kamu diam saja?.”Tanya Anggini”. Kamu takut menyakiti hatiku, aku tahu dan sadar namun inilah diriku, aku tak bisa menghapus dan membuangnya semuanya.
Anggini….Jika kau benar-benar sayang padaku, berubahlah. Aku ingin melihatmu menjadi pria sejati, atau kau akan kehilanganku selamanya. Maksudmu? Tanya heran anggini. Jika semua benar-benar tak bisa berubah, aku memilih pergi meninggalkanmu, aku tak ingin akan menyakiti hatimu karena aku tak akan pernah bisa bersama kamu. Aku pulang dulu ya…Assalamu alaikum, Waalaikum salam jawab Anggini.
Dunia semakin murung, dan petir mulai bergelegar di hati, seketika juga hujan mulai turun di pipi. Tak mampu berkata apa pun, tak mampu berfikir apa pun. Hanya Aliran sunggai di wajah putih Anggini semakin deras dan semakin deras per detiknya. Di hempaskan Tubuh Rapuhnya ke Dipan sembari telungkupkan kepala mendekap bantal di hadapannya. Aku tak ingin engkau pergi meninggalkanku Anton, tapi aku bisa apa..??..berontak keras kepala Anggini, terasa tak sanggup untuk berfikir, malam ini dilalui Anggini dengan begitu berat.
Subuh telah datang dengan keras kepala, Anggini menolak ajakan berjamaah Ibunya. Subuh di laluinya sendiri di kamarnya. Segera Ku bongkar lemariku, ku cari pakaian yang ibu berikan setiap ulang tahunku, Ahhh…akhirnya ketemu juga, senyum Legah Anggini. Pagi ini aku akan menemuimu dengan Agus yang sesungguhnya, semangat Anggini. Di potong Habis rambut indah dan panjangnya, tanggai-tanggai di jemari lentiknya, dan di lucutinya anting-anting menjuntai di telinganya. Bergegas Anggini menggunakan pakaian pemberian Ibunya. Dengan rasa takut Ia membuka pintu kamarnya.
Sepasang mata Ibu, Ayah, dan adiknya Intan terbelalak. Sedetik kemudian berlinangan Air mata di wajah keriput Ibunya. Alhamdulillah….kakak sudah berubah syukur Intan dan Ayahnya. Seperti tak melihat sesiapa pun Anggini berlalu dengan cepat. Mengabaikan kebahagian Ayah, Ibu dan adiknya. 3 menit kemudian sampailah Anggini di depan pintuh Rumah Anton yang berjarak hanya 20 meter dari rumahnya. Anton…teriaknya di depan rumah Anton. Tak asing terasa suatra itu di telinga Anton, dengan santai dia keluar dari rumahnya, kemudian mendapati sosok yang benar-benar berbeda, Aneh, tak percaya dan Namun Bahagia yang di rasakannya. Anggini..kau benar-benar berubah untuk ku. Ya Tuhan…kuasamu begitu besar, kau ubah anggini dalam semalam menjadi Agus kembali. Aku pulang dulu ya, malu dan aneh yang di rasakan Anggini pada Tubuh dan lingkungannya. Segera ia masuk ke kamarnya dan mngenakan kembali pakaian wanitanya dengan wik yang sudah di persiapkannya. Sayang ia tak sadar bahwa Anton mengikutinya dan memperhatikan semua yang di lakukan Anggini.
Anggini…panggil Anton, kau…kau..”ku kira kau benar-benar telah berubah. Anton…sebuah nama keluar dari bibir mungil Anggini yang kaku, rasa takut menyelimuti hatinya. Dengan terbata Anggini menjelaskan. Aku Anggini di kamarku, dan aku Agus di luar, aku harap kamu menghargai privasi ku.
Ya…tak mengapa semua sudah lebih baik dari kemarin, semua memang tak mudah bagimu. Sembari berlari meninggalkan Anggini. Aku tak bisa berkata apa pun lagi, aku telah turuti semua keinginamu, tapi di kamarku, di diriku aku adalah Anggini, aku tak akan bisa rubah itu semua. Aku tak hendaki semua ini, tapi semua terkaji dan mengalir begitu saja pada diriku, meskipun aku telah menoba namun semua tetap tak bisa. Aku bebas menjadi diriku dan mengapresiasikan apapun di kamarku. “Kamar Anggini”, siapa pun di larang masuk tanpa seizing ku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H