Mohon tunggu...
eli kristanti
eli kristanti Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Inggris

suka fotografi dan nulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mari Cegah Polarisasi di Tahun Politik Kini

3 Februari 2024   18:52 Diperbarui: 3 Februari 2024   19:00 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Indonesia akan merdeka, banyak orang dan tokoh masyarakat waktu itu yang tidak berfikir kepentingannya sendiri. Yang dia pikirkan adalah kepentingan bersama dan itu merupakan kepentingan yang besar. Mereka yang berada di Jawa merelakan bahasa Indonesia yang berbasis bahasa melayu sebagai bahasa nasional, dan bukan bahasa Jawa atau bahasa Sulawesi atau Bali,

Begitu juga Pancasila yang ditemukan oleh Soekarno sejatinya adalah nilai-nilai yang dia ambil dari hampir seluruh wilayah Indonesia. Sehingga tidak heran jika Pancasila memang intisari dari sifat, perilaku dan cermin jiwa manusia Indonesia itu sendiri. Bahkan beberapa tokoh yang sebelumnya menghendaki kalimat syariat Islam pada sila pertama Pancasila, dengan kesadaran penuh demi kepentingan yang lebih besar, maka mereka setuju untuk berubah menjadi ketuhanan yang Maha Esa. Artinya kurang lebih sama tetapi mencerminkan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa dengan berbagai agama yang ada.

Dengan bertambahnya usia kemerdekaan, negara kita bertambah maju dan mendapat berbagai halangan dan tantangan sebagai bangsa. Kita mengalami pahit dan getirnya usia kemerdekaan ini . Ada peristiwa Sepetember 1965, kemudian gejolak mahasiswa karena kondisi ekonomi dan gaya kepemimpinan dari orde baru, yang kemudian melahirkan reformasi.

Reformasi ini yang kemudian mengubah banyak hal pada bangsa ini terutama pada tata kelola negara ini. Ada otonomi daerah, ada keterbukaan informasi dll.

Ini kemudian memang menimbulkan dampak yang besar pada warga kita. Warga dengan mudah memperoleh informasi yang baik maupun yang kurang baik. Akibat dari pendidikan yang kurang seringkali kita salah mengartikan informasi yang kurang baik / kurang tepat yang diterima warga.

Soal agama misalnya. Pada masa warga bersemangat dengan reformasi, banyak yang menerima ajaran-ajaran yang tidak berkonteks kekinian (Indonesia) mereka menyatakan bahwa ajaran itu unggul karena berasal dari asalnya. Dan ajaran yang tidak berkonteks Indonesia itu ternyata menimbulkan fanatisme sempit. Lalu karena demokrasi sudah sangat baik di Indonesia, maka menimbulkan polarisasi pada kontestasi politik di Indonesia.

Itu kita alami sendiri saat beberapa pemilu lalu sehingga kita menjadi berjarak satu sama lain. Perkembangan ini tentu saja menyempit dibanding dengan terbentuknya Indoensia. Kini banyak yang mengutamakan kepentingan kelompoknya dibanding dengan kepentingan yang lebih besar seperti zaman awal kemerdekaan .

Polarisasi ini menjadi tantangan kita semua dan menjadi momentum agar kita memikirkan hal lebih besar dari pada sekadar kepentingan kita sendiri, apalagi dalam kontestasi politik seperti sekarang ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun