Mohon tunggu...
eli kristanti
eli kristanti Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Inggris

suka fotografi dan nulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cerdas Memilih dan Memilah Konten Dakwah Ulama

18 Mei 2023   21:27 Diperbarui: 18 Mei 2023   21:44 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu Ustad Hanan Attaki menyatakan berbaiat pada Nahdlatul Ulama (NU). Ini menjadi
salah satu refleksi bahwa dakwah NU yang berbasis kebangsaan memiliki daya pikat tersendiri.
Termasuk, bagi para pendakwah muda.


Sejatinya, dakwah moderat berbasis kebangsaan yang dilakukan oleh NU maupun Muhammadiyah
selama ini sudah terbukti menjadi salah satu pilar penguat persatuan. Justru belakangan, problem
muncul saat para pendakwah muda yang telah dirasuki pemahaman Islam transnasional. Mereka
melakukan manuver dakwah dan politik yang membuat gesekan-gesekan mengemuka.


Biasanya mereka memulai gerakan melalui media sosial internet. Dunia maya jadi ajang ekspresinya
pada awal mula. Setelah dengan kecakapan retorika sejumlah kalangan terpukau, mereka membuat
pengajian-pengajian. Tentu saja, belajar agama bisa dari mana saja dan dari siapa saja. Masalahnya
adalah jika pesan yan dibawa tidak atau kurang kompatibel dengan kondisi masyarakat, yang terjadi
malah menebar benih konflik.


Keberadaan NU dan Muhammadiyah telah teruji sebagai pondasi keutuhan NKRI. Dua ormas Islam
terbesar di Indonesia ini, di mana Islam pun merupakan agama yang dianut mayoritas penduduk, selalu
menjadi garda terdepan Islam moderat.


Di era kekinian, dakwah kebangsaan mesti dilakukan melalui beragam cara. Tidak terkecuali, melalui
kanal-kanal dunia maya. Pasalnya, dari dunia pula pesan-pesan agama yang tidak relevan biasa
terlontar. Pesan agama yang disusupi nafsu politik kontraproduktif pun dijejali melalui media internet.
Oleh sebab itu, dakwah yang moderat mesti turut menghiasi media massa, sehingga wacana bisa
terkontestasi serta ini merupakan upaya meruntuhkan narasi yang mengandung hate speech serta
berbau perpecahan.


Kemunculan dakwah-dakwah yang punya kecenderungan hate speech merupakan fenomena yang sukar
dihindari. Kondisi ruang digital di Indonesia belum bisa bersikap represif seperti di Tiongkok atau Rusia.
Oleh sebab itu, cara yang paling mudah dilakukan agar masyarakat, khususnya kaum muda penerus
generasi bangsa, tidak kepincut dengan materi dakwah-dakwah radikal, memberi mereka pagar
pengetahuan.


Bimbingan tentang bagaimana memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang super progresif
mesti tersistem dalam pola pendidikan formal di sekolah, maupun pola asuh orang tua di rumah. Pesan-
pesan moral keagamaan dan cara menyesap konten dakwah dari internet, mesti menjadi perhatian guru
maupun orang tua. Menjauhkan anak-anak atau pemuda dari internet di era kekinian sudah tidak
relevan. Jadi, mereka perlu dibekali pondasi wawasan tentang cara memilih dan memilah konten,
termasuk konten dakwah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun