Intoleransi dan radikalisme dalam dua decade ini adalah salah satu musuh global. Bukan pada golongan tertentu atau agama tertentu tapi sering kali intoleransi itu dekat dan nyaris melekat pada sekelompok mayoritas terhdap minoritas.
Contoh yang bisa diambil di sini adalah bagaimana Amerika Serikat (AS) berjuang untuk kesetaraan bagi minoritas kulit hitam dengan kulit putih yang merupakan mayoritas.Â
Anda lihat sendiri, Barack Obama adalah Presiden pertama AS yang berkulit hitam padahal saat itu AS sudah merdeka ratusan tahun. Artinya selama ratusan tahun juga kelompok kulit hitam harus berjuang dan menerima beberapa perlakuan intoleran dari kulit putih.
Intoleransi yang dilakukan mayoritas terhadap minoritas juga terjadi di beberapa negara seperti Myanmar (Birma) dimana agama Budha merupakan agama mayoritas di sana. Sedangkan agama seperti Islam dan Kristen adalah agama minoritas di sana.
Intoleransi itu memang punya kekuatan menyebar dari mimbar agama ke ranah nyata. Sekitar 20 tahun lalu, seorang bhiksu menyebarkan narasi kebencian terhadap agama Islam melalui ceramah agama di Myanmar.Â
Narasi itu kemudian dipercaya dan memantik bentrokan mayoritas terhadap minoritas. Bentrokan itu berlanjut dengan penindasan.Â
Karena itu kita tahu banyak warga negara Myanmar yang lahir dengan suku tertentu dan agama tertentu banyak yang ingin keluar dari negara itu karena mereka memperoleh perlakuan tak layak di negara itu.Â
Dan yang membuat orang berpikir bahwa itu miris dan dramatis adalah pelaku narasi intoleransi dan sebaran kebencian itu justru adalah tokoh agama.
Di Indonesia, fenomena itu juga terjadi; mayoritas sering bersikap intoleran terhadp mayoritas. Kita bisa melihat bagaimana ajaran-ajaran agama yang mengajarkan kedamaian dipelintir sedemikian rupa -- oleh beberapa ulama yang tergolong radikal- Â sehingga perasaan umat terhadap umat lain menjadi jauh.Â
Ceramah di mimbar-mimbar keagamaan dijadikan salah satu media penyebaran kebencian sehingga perasaan yang saling jauh itu akhirnya menimbulkan perasaan benci.