Mohon tunggu...
eli kristanti
eli kristanti Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Inggris

suka fotografi dan nulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rumah Ibadah Jangan untuk Politik

17 Juli 2018   12:49 Diperbarui: 17 Juli 2018   12:53 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih melekat di benak banyak orang soal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta yang berlangsung pada tahun 2016 dn 2017 (karena dua putaran). Banyak orang mengungkapkan bahwa Pilkada itu adalah Pilkada terkotor yang pernah terjadi di Indonesia, karena menggunakan isu agama sebagai peluru untuk mengalahkan lawan. Isu agama itu dikembangkan melalui khotbah-khotbah di masjid dan mengakibatkan polarisasi yang hebat terjadi di Jakarta dan mempengaruhi juga daerah-daerah lain.

Dari cerita yang berkembang kemudian, konsultan politik yang menangani pasangan calon yang menggunakan isu agama terispirasi dari kemenangan partai Islam FIS (Front Islamicdu Salut atau Front Keselamatan Islam). 

Partai ini adalah partai alternative yang tumbuh setelah Aljazair menerapkan partai tunggal yaitu FLN. Saat itu Aljazair adalah satu negara dengan paham sosialis yang kental dan dekat dengan Uni Soviet (Russia saat ini)

Ketika Aljazair menerapkan multi partai, FIS berhasil menarik 2/3 dari masyarakat Aljazair untuk memilihnya. FIS berbasis Islam sangat disukai masyarakat Aljazair. Hanya saja, partai yang mendapat 81% kursi di parlemen itu kemudian diberangus militer.

Bagaimana FIS dapat berkembang dengan cepat dan disukai oleh masyrakat  Aljazair itu menarik perhatian konsultan Pilkada Jakarta waktu itu.  Ditelisik ternyata mereka menggunakan masjid untuk mengenalkan FIS dan membangun gerakan politik dari masjid. Gerakan itu menjadi massif dan dengan cepat rakyat simpati.  Jika kita belajar sejarah dunia maka kita mendapati bahwa perngorganisasian masa dan gerakan politik melalui masjid sudah menjadi strategi berbagai kelompok Islam di berbagai belahan dunia sejak menjelang Revolusi Iran (1978 -1979)

Dan ketika itu diterapkan di Indonesia, maka yang terjadi adalah polarisasi yang sangat tragis bagi bengsa Indoensia. Mengingat basis Indonesia adalah majemuk dengan berbagai keberagaman dan amat riskan untuk menonjolkan satu etnis atau satu agama saja.

Karena itu, menjelang 2019 dimana akan diadakan Pilpres maka sebaiknya jangan memakai masjid atau tempat ibadah untuk membangun gerakan politik. Sebaiknya rumah ibadah digunakan sepenuhnya untuk beribadah dan kegiatan damai lainnya. Karena jika dimasukkan unsur politik, banyak hal bisa terjadi misalnya ujaran kebencian dan ajaran-ajaran lain yang menyesatkan. Contoh paling nyata adalah Pilkada Jakarta lalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun