Beberapa harap mungkin akan hinggap di pekat malam. Saat ketergantunganmu pada manusia dipaksa tanggal. Manakala kamu mulai dihinggapi selembar kesadaran. Bahwa manusia seringkali menjadi makhluk paling tak berperikemanusiaan.
Beberapa tetes air Tuhan mulai mencium bumi. Seiring air yang luruh dari letih matamu. Saat mendapati hatimu telah diporakporandakan. Bahkan oleh perasaan yang tak sadar telah kau rekayasa sendiri. Karena teledormu telah menitipkannya pada sosok manusia yang salah.
Beberapa daun sepertinya jatuh hanya untuk menertawakan. Kamu yang telah lama menggenggam berlapis janji tak terwujud. Meski angka demi angka tanggal dari kalender di dinding kamar yang kian pudar ronanya. Buku-buku jari kaku, menghitung masa di sana.
Berbaris firman Tuhan. Membangunkan  lelapmu yang berkepanjangan. Dari gula-gula dunia yang lengket lekat memikat. Hingga seluruh anasir dirimu hampir saja sekarat. Kamu mencoba melerai  ikat demi ikat. Karena kepak sayapmu kian terjerat.
Biarlah kau telan badai penghalau kecewa. Demi lahir kembali jiwamu yang lama sesat.
Bergegaslah! Punguti hikmah yang sekian lama kau tinggalkan. Usah malu di hadap manusia. Cahaya Tuhanmu adalah hal paling layak diperjuangkan.
Bun-pest, 29.04.2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H