Dulu
Aku pernah jatuh dalam pekatnya usaha yang menyiksa. Memeram doa selangit seangkasa. Berlari dalam balutan asa. Mengejar seutas nama untuk kusematkan dalam singgasana rumah tangga. Meski untuk membaiat namamu, serpihan air mata berarak hingga gelap menyita. Deraian luka berlinang lara tak lagi kueja aksaranya. Mesra kucumbui tiap helainya.
"Tak mengapa," ucapku rela.
Kini
Kau tak lagi serupa.
Riuh parau egomu membelah kilauan bunga cinta. Pada punggung malam, tak lagi kau kumandangkan ceria.
Aku yang renta dalam larik-larik hampa, hanya menuai rindu di sudut tunggu.
Aku benci kamu karena terlalu sempurna tanpa hadirku.
Sedang aku
Seumpama seruas kertas yang meranggas terbawa angin kesengsaraan. Rindu yang dulu tak sabar kusemai di pagi hari, kini layu dan tak pernah lagi kuseru.
Biarlah rindu itu mengering dengan segala rasa yang terasing. Sedetik rindu membara, lalu hilang tanpa suara. Pada daun-daun yang ramai jatuh. Kutitipkan namamu yang tak lagi kutemui di dinding yang utuh.
Sekelumit sesal tak layak terpintal. Kamu yang pernah kuperjuangkan dulu telah lihai menjadi halu yang sepenuh senyum pongah berlalu.
Selamat!
Kamu telah meremahkan hidupku.
Cilegon, 07.05.21
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H