Natal diibaratkan seperti dua sisi mata uang logam, apa pasal?Â
Kelahiran bayi mungil Yesus ibarat dua sisi uang logam. Kabar penuh sukacita di satu sisi (komunitas umat mengakrabi sisi ini) dan kabar ratap tangis di sisi lain (agaknya sisi ini enggan tuk diakrabi). MengapaPertama, kehadiran Yesus merupakan kabar sukacita karena membawa harapan bagi pembebasan dari kebengisan rezim Herodian dalam dominasi imperialisme Romawi.Â
Kedua, bahwa kelahiran Yesus membawa kisah tragedi berdarah pada anak-anak kecil yang menjadi korban pembantaian berdarah yang tidak dapat terelakkan. (Jangan lupakan peristiwa ini !).
Pernahkah kita sebagai komunitas umat kristen mengenang dan meratapi kematian anak-anak kecil di Betlehem sebagai bagian dari perayaan Natal sehingga Betlehem tidak lagi diingat sebagai "Rumah Roti" semata, melainkan juga "Rumah Darah" karena kematian anak-anak kecil tak berdosa akibat pembantaian brutal rezim Herodes dalam imperialisme Romawi.Â
Mayoritas dari kita, umat kristen, memilih "adem ayem" dan belum lagi ditambah dengan ber-euforia atas kelahiran Yesus bayi mungil sehingga menegasi pada peristiwa tragedi yang menyelimuti momen kelahiran (pun pasca) tersebut.Â
Sudah semestinya secara komunal, umat kristen jangan pernah melupakan ataupun abai pada ratap tangis sekian banyak orang tua yang hatinya tak lagi mau dihibur atas peristiwa tragedi pembantaian berdarah yang terjadi pada anak-anak mereka. (Mat. 2: 18). "Remember the children of Bethlehem. Remember always!", noted.Â
Tragedi atas peristiwa pembantaian anak-anak seperti yang sudah dituliskan dalam awal Injil Matius tak luput dari berita yang menggemparkan hingga diseluruh Yerusalem (Mat.2: 3) dibawa oleh orang Majus, jelas memantik kegemparan, serta mengancam Herodes ditambah lagi setelah mendengar nubuatan kitab Mikha terkait raja orang Yahudi yang lahir di Bethlehem, yang hanya berjarak beberapa kilometer dari episentrum wilayah kekuasaannya. Selanjutnya dikisahkan bahwa Herodes dengan dalih hendak menyembah raja yang baru lahir meminta orang Majus untuk pergi menyelidiki dengan jeli nubuatan melalui petunjuk bintang. Namun di balik permintaan yang mengesankan kesalehan (padahal ya "kebejatan", bukan kesalehan, pun sebuah siasat), (Saya jadi ingat ucapan) Craig Keener, "Herodes had an evil plan that resulted in the murder of innocent children." Nah lho!. Bethlehem seketika mengalami banjir darah, ketakutan, ratap tangis -- duka mendalam pun menyeruak. Itulah yang ada. Â Kisah pembantaian anak-anak (berusia dua tahun ke bawah) oleh Herodes tersebut merupakan ekspresi dari praktik dominasi status quo (tiran Herodes dalam kedudukannya sebagai komprador imperialisme Romawi. Dengan kata lain melanggengkan pemerintahan Kaisar Agustus, yang pada masa itu Herodes hanyalah raja boneka dari Kaisar Agustus) yang tidak siap menghadapi kelahiran Yesus yang secara mendasar-kebermaknaan hadir sebagai figur yang membawa harapan bagi pembebasan dari dominasi kebengisan penguasa, rezim Herodian. Bersamaan dengan itu, (agaknya) narator dalam awal Injil Matius meminjam tokoh Herodes guna sebagai gambaran dari karakter penguasa lalim yang gagap dalam menghadapi rival yang akan mengganggu dominasinya. Figur lalim Herodes merepresentasikan kritikan atas sikap lalim para penguasa yang tidak bersedia mengakui kesalahannya.
Tragedi berdarah atas pembunuhan massal terhadap anak-anak pada rezim Herodian, tentu sarat dengan kisah dramatis, ada ratap tangis terdengar menyayat hati, banyak orang tua yang hatinya tak mau dihibur lagi karena peristiwa tragedi pembantaian berdarah yang terjadi pada anak-anak mereka. Jelas saja dalam kisah tersebut narator dalam Injil Matius tidak bermaksud mempersalahkan kehadiran Yesus (kendati Yesus selamat, namun semestinya setiap kali umat kristen memperingati Natal semestinya juga tidak melupakan peristiwa berdarah ini yang sudah memakan banyak korban jiwa atas kematian pada anak-anak di Bethlehem). (memang beginilah historisitas ketegangan yang terjadi dalam awal Injil Matius). Adapun yang hendak diungkap narator adalah ketegangan peristiwa-dialektis serta krisis dalam kelahiran Yesus yang begitu "caut marut". Kehadiran Yesus memang beriringan dengan meletusnya krisis, kegemparan bahkan maut dalam dunia yang sarat dengan kekerasan, dan bahkan kelahiran-Nya pun sebagai keberlanjutan dari krisis hiruk-pikuk permasalahan yang sudah ada sejak dulu, hingga sekarang, bahkan hingga kita hidup -- krisis masih terus ada. Namun, lahirnya Yesus tersebut menandakan turut bersedia terlibat-melibatkan diri-Nya dalam solidaritas kepada umat dan seluruh ciptaan di tengah krisis personal, 'pun komunal yang menyelimuti umat manusia (termasuk dalam aras politik, kebengisan rezim Herodianism).
Ia hadir tidak di dunia yang aman. Ia juga hadir di dunia yang rentan, penuh krisis bahkan sarat kekerasan dan bahkan akan terus berlanjut. Dunia bukan tempat yang netral, maka Yesus pun lahir ke dunia juga tidak netral. Dunia ini sejak dahulu memang sarat dengan krisis, kepedihan, dan segala kemungkinan yang dapat saja memakan korban. Inilah bingkai teologis yang hendak disampaikan narator dalam awal Injil Matius. Yesus datang, krisis tidak hilang bahkan kerap justru meningkat, namun krisis seberapapun besarnya perlu dihadapi dengan keberanian memasukinya karena didasarkan pada iman yang terbuka dan percaya akan karya Allah yang menyelenggarakan keselamatan.
Dengan demikian Natal bukan hanya sekadar kesukacitaan-euforia, kerlap-kerlip lampu natal, dolprize, kue-kue Natal, balon warna-warni (hari pas-kah? pun gereja didekor seperti hari Natal. Memang fetis umat kristen lebih mendominasi palungan daripada palang salib), menyambut Yesus, tetapi perenungan, kegelisahan, hingga hanya ada keheningan dalam kedilemaan (antara suka dan duka) yang mendalam atas derita tak terlukis dari mereka yang telah ditindas dan kehilangan anak-anaknya akibat kebengisan penguasa. Ada ketegangan dialektis dalam peristiwa kelahiran Yesus ke dunia. Penderitaan dari kaum tertindas dan kebengisan para penguasa adalah latar dari kelahiran itu. Harapan akan kebebasan hakiki dari rantai ketertindasan hingga derita tak terperi yang dirasakan kaum tertidas menjadi suasana yang menyelimuti peristiwa kelahiran. Sampai pada, "ada apa dengan Natal?!" Inilah yang terjadi ketegangan peristiwa-dialektis, yaitu terjadinya peristiwa kelahiran dan kematian akbar. Kelahiran yang membawa sukacita karena Yesus telah lahir, namun semestinya tidak berhenti disitu saja, semestinya juga setiap kali umat kristen memperingati Natal, umat kristen juga turut memperingati, meratap, berbela rasa  karena dari kelahiran Yesus sudah memakan banyak korban kematian anak-anak yang menjadi korban pembunuhan massal pada rezim Herodesiasm, hingga banyak orang tua yang menangisi - meratap atas tragedi pembunuhan massal terjadi pada anak-anak mereka hingga hati mereka tidak mau dihibur. Meski Yesus pada akhirnya selamat, namun lihatlah juga pengorbanan yang sudah diambil Yusuf dan Maria dengan terpaksa harus mengungsi ke Mesir dan baru kembali setelah Herodes mati. Jawaban atas pertanyaan itu pada akhirnya mengantarkan pada permenungan tentang hakikat Natal itu sendiri yang di dalamnya harus terisi sikap dan tindak memuliakan Allah atas kelahiran Yesus yang menandakan kebersediaan-Nya terlibat-melibatkan diri-Nya dalam solidaritas kepada umat dan seluruh ciptaan di tengah krisis personal, 'pun komunal yang menyelimuti umat manusia, juga sekaligus sikap dan tindak untuk turut berbela rasa terhadap derita mereka yang ditindas oleh rezim kebengisan penguasa.
"Kiranya kegelisahan, hingga hanya ada keheningan dalam kedilemaan menyelimuti mu dalam menghayati Natal".