Mertua saya Almarhum, sudah sering membicarakan jokowi sejak belum begitu dikenal. Waktu itu Jokowi baru seorang Walikota. Tapi katanya sepak-terjangnya begitu fenomenal, belum pernah ada kebijakan seorang pejabat negara yang seperti Jokowi. Dikatakan Jokowi mau melakukan dialog kepada PKL (pedagang kaki lima) membahas penataan atau penempatan mereka, tertib tidak mengganggu lalu lintas sekaligus tetap memberi ruang kepada PKL. Disini sudah terlihat karakter kepemimpinan Jokowi yang TIDAK AROGAN, berbeda dengan kebiasaan orang yang punya kekuasaan yang biasanya langsung berubah menjadi sok-sok an.
Kemudian soal Jokowi yang menganulir keputusan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo tentang ijin pendirian Mal di Solo. Jokowi menolak pendirian Mal baru di Solo karena dianggap kurang berpihak kepada perekonomian rakyat yang berada di pasar tradisional. Disini Jokowi membuktikan sikap kepemimpinannya yang TEGAS, bukan boneka atasan yang notabene berasal dari satu partai. Sekaligus membuktikan gaya kepemimpinan Jokowi yang TIDAK terbawa arus NEOLIBERAL atau NEOKAPITAL yang membebaskan pemodal besar menginjak-injak perekonomian rakyat.
Berita tentang Jokowi di Solo ternyata waktu itu belum membuat saya tergugah dari tidur panjang pesimistis terhadap kinerja pemerintahan yang sudah korupmasif bahkan hampir niscaya untuk diubah (saking pesimisnya). Pemerintahan yang dulu selalu tidur terhadap kepentingan orang kecil, dan hanya melirik terhadap pemodal besar yang otomatis akan menyipratkan uang proyek ke pundi pribadi kerabat pejabat. Bahkan bukan rahasia, jika ada pemodal yang berusaha bersih akan dihambat untuk berusaha jika belum memberikan pelicin sebagai syarat ijin membuka usaha.
Kehebohan mulai menyeruak tatkala Jokowi tiba-tiba ditarik ke ibukota. Bagi Prabowo langkah ini dikemudian hari ternyata bagai memelihara anak macan, yang tanpa sadar ketika tiba-tiba secara natural menjadi besar terlanjur susah dikendalikan. Jokowi memang tidak berambisi untuk menjadi presiden, tentu beliau tidak ingin menerkam orang yang ikut membesarkannya ke tampuk kursi Gubernur DKI. Tapi fenomena kinerja Jokowi yang bersih tanpa korupsi, transparan dengan berkala melaporkan keuangan kepada publik, dan tidak nepotisme dengan melelang jabatan lurah. Bahkan membuktikan janji-janji kampanyenya dengan membuatkan kampung deret bagi bedeng bantaran kali yang langganan banjir, dan membuka taman-taman kota disekitar waduk yang dibersihkan dari pemukiman liar dan mengembalikan ke fungsi awal sebagai daerah resapan pengurang banjir. Belum lagi pembenahan transportasi umum untuk persiapan pengurangan kendaraan pribadi penyumbang kemacetan ibukota.
Tiba-tiba rakyat bangkit, tergugah dan siuman dari kepesimisannya terhadap kebobrokan kinerja pemerintahan. Ada harapan baru ketika melihat kinerja dan sepak terjang jokowi yang tidak ada ampun bagi kemalasan melayani masyarakat dan main-main proyek. Euforia ini sangat nyata tatkala antusiasme pemilih yang begitu besar, yang katanya belum pernah ikut nyoblos, rela bangkit dari kegolputannya demi sebuah harapan baru. Elektabilitas Jokowi yang begitu tinggi sebelum dicalonkan menjadi Capres adalah bukti lain bahwa Jokowi lahir dari rakyat. Rakyatlah yang harus dipersalahkan jika Jokowi terpaksa harus meninggalkan jabatan Gubernurnya yang baru 1.5 tahun demi mengemban tugas yang lebih besar yaitu menciptakan perubahan diseluruh negeri Nusantara tercinta ini. Lihat saja, lelang jabatan ala Jokowi juga diikuti di beberapa daerah diluar DKI. Kinerja Kelurahan bersih juga dirasakan sampai di luar DKI. Orang menjadi takut korupsi karena ada figur bersih di ibukota.
Inilah harapan rakyat Indonesia. Bukan dilandaskan kepada suara lantang di atas podium tentang perang terhadap bocor-bocorlah harapan ini disandarkan. Tapi kepada kerja nyata yang sudah dirasakan di tiap jejak kepemimpinan Jokowi yang tergolong singkat. Kerja-kerja-kerja adalah slogannya. Bukan menunggu jika-jika-jika, kalimat bersyarat yang masih butuh pembuktian. Buat jabatan presiden masak mau coba-coba? Apalagi jika ternyata, seolah alam bekerja secara luar biasa, membelah Indonesia menjadi dua kelompok. Kelompok yang satu adalah orang-orang lama yang kinerjanya terbukti menghalalkan segala cara untuk kepentingan pribadi dan golongan. Sedangkan kelompok satunya adalah para pekerja tulus, bersih, dan sudah menyumbangkan hasil nyata bagi perubahan Indonesia yang jauh lebih baik.
Sangat disayangkan memang jika Indonesia sampai terbelah menjadi dua. Artinya masih ada PR (pekerjaan rumah) yang besar bagi sebuah revolusi mental. Indonesia yang dulu, pewaris mental masyarakat terjajah dan menjajah, yang kuat memeras yang lemah. Setelah 69 tahun "merdeka", baru kali ini rakyat merasa harus bangkit dari mentalitas para penjajah yang ternyata dilakukan oleh pejabatnya sendiri. Indonesia harus bangkit, karena Indonesia hebat. Selamat memilih pemimpin baru. semoga besok 9 Juli 2014 adalah hari yang lebih baik dari hari lalu dan hari ini. Salam 2 jari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H