Ketidaksesuaian ini terjadi akibat adanya penyelewengan yang dilakukan oleh beberapa warga negara yang tidak taat hukum. Beberapa lembaga legislatif yang mempunyai kekuasaan terkadang tergoda untuk melakukan tindakan curang dalam pemerintahan. Apalagi jika tindakanya tak terungkap. Ia akan semakin menjadi-jadi dan besar-besaran melakukan tindakan melanggar hukum.
Belum lagi demokrasi juga disalahartikan oleh beberapa orang sebagai kebebasan yang amat luar biasa. Tak jarang orang melakukan unjuk rasa atau demonstrasi dengan cara-cara yang bisa dibilang terlewat batas atau gila. Misalnya saja ketika terjadi demo massal, banyak orang yang tertindih atau bahkan terinjak-injak sehingga menjadi korban dari demo itu. Ada juga kejadian terbunuhnya Ketua DPRD Sumatra Barat karena para demonstran melakukan demonstrasi dengan tidak wajar.
Demokrasi mungkin saja menjadi suatu bentuk atau solusi mewujudkan harapan. Tetapi kenyataan berkata lain. Kenyataan seringnya tak terjadi sesuai harapan. Mungkin saja harapan kita terlalu melampau tinggi hingga tak bisa diwujudkan, atau mungkin memang terjadi kesalahan dalam menggapai harapan tersebut.
Contoh lain saja misalnya ketika terjadi pesta demokrasi. Dengan bermacam partai-partai politik, masing-masing melakukan kampanye, ramai, hiru-pikuk hari oleh adanya kampanye parpol-parpol. Harapan begitu besar muncul saat kampanye, namun kemudian jatuh terpuruk ke tingkat paling bawah. Mulai dari hasutan, sogokan atau dukungan dana hingga janji-janji palsu sudah biasa terlontar dari beberapa calon-calon kader.Â
Apakah mereka berlebih dana sehingga sangat bermurah hati membagikannya atau mereka memang bermaksud menyogok karena takut kalah dalam persaingan parpol. Sangat jelas ini bukanlah cerminan demokrasi.
Cerminan demokrasi tidak lagi sesuai dengan apa yang telah disettingkan oleh para penemu. Tantangan mewujudkannya jauh lebih besar dari apa yang ada. Berjuang untuk kemerdekaan dengan tujuan mewujudkan dasar demokrasi yang lebih kental. Sementara setingg-an jaman sekarang ini demokrasi dirumuskan sebagai situasi yang bisa dimanfaatkan untuk menyelewengkan atau menyalahgunakan kekuasaan, hingga hal itu menjadi sebuah kebiasaan yang hakiki.
Semakin ke depan, partai politik makin tidak jelas ideologi atau visi misi nya, rasa rela berkorban terkonversi menjadi rasa pamrih. Semua orang juga mulai saling memaksakan haknya masing-masing karena merasa ia berhak mendapatkan kebebasan dalam apapun, hingga ia lupa dengan kewajiban nya sebagai warga negara.Â
"Apa yang bisa kamu berikan kepada negara, bukan apa yang bisa kamu dapatkan dari negara", kutipan tersebut sudah sangat tergantikan dengan "apa yang bisa diperoleh dari negara, bukan apa yang bisa kita berikan pada negara".
Ketika pernyataan terakhir telah mendarah daging, maka masyarakat juga enggan berpartisipasi aktif dalam aktivitas-aktivitas negara atau partisipasi dalam membangun negaranya. Mereka hanya menuntut haknya diutamakan, namun disisi lain juga lembaga-lembaga pemerintahan menyalahgunakan wewenangnya. Demokrasi di negara makin terdorong jatuh oleh adanya keegoisan manusia.
Oleh karena demokrasi masih jauh dari idealnya, kita sebagai warga negara turut serta membantu demokrasi terwujud. Mengesampingkan ego dan menyadarkan diri atau orang lain tentang pentingnya demokrasi. Mungkin saja ini bukanlah hal yang mudah, tetapi semua itu bisa diusahakan.Â
Kita sebagai warga negara juga harus memanfaatkan kesempatan yang tersedia luas bagi kita untuk membangun negara dan berpartisipasi di dalam pemerintahan. Tetap saja kesempatan itu harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab.