Angkringan sudah menjadi salah satu icon bagi Jogja. Walaupun warung tenda dengan penerangan seadanya ini cukup banyak di kota-kota yang lain, akan tetapi di Jogja sangat mudah sekali menemui warung angkringan. Tidak hanya didaerah perkotaan, bahkan di desa dan gang-gang perumahan pun banyak tersebar angkringan.
Warung ini sendiri disebut angkringan karena menggunakan angkring atau gerobak kayu. Ada juga yang menyebutnya kucingan, karena mereka menjual nasi kucing, yaitu nasi dengan porsi sedikit yang katanya seperti porsi untuk memberi makan kucing.
Angkringan memiliki daya tarik tersendiri bagi para penggemarnya. Selain menyajikan menu makanan dengan harga yang sangat bersahabat dengan dompet dan kantong, angkringan juga menjadi tempat yang asyik untuk ngobrol dan bersenda gurau bersama teman. Bahkan apabila kita hanya datang sendiri ke angkringan, kita bisa ngobrol dan mendapat teman baru, sesama pengunjung angkringan. Seperti layaknya di "warung kopi", semua topik pembicaraan ada di angkringan. Mulai dari politik, ekonomi, olahraga sampai dengan isu terhangat pemilihan ketua RT. Semuanya dibahas secara tajam, walaupun mungkin tidak sampai setajam silet.
Tidak semua angkringan berada di warung tenda yang sempit dengan penerangan lampu minyak. Ada juga angkringan yang memiliki tempat yang luas. Seperti Angkringan Pak Jabrik yang berada di depan kantor Koran Harian Kedaulatan Rakyat. Menu yang ditawarkan di angkringan ini sebenarnya sama dengan angkringan yang lain. Hanya saja pilihan lauknya lebih beragam. Dan yang paling menarik adalah tempat untuk duduk menikmati makannya. Para pengunjung dapat duduk lesehan di trotoar yang ada di depan KR.
Selain Angkringan Pak Jabrik, ada Angkringan Lek Man yang terkenal dengan kopi jos-nya. Angkringan ini sering juga disebut Angkringan Tugu, karena terletak di sebelah utara Stasiun Tugu Yogyakarta, stasiun kereta api utama di kota Jogja. Konon, inilah angkringan pertama di Jogja. Dimulai pada era 1950-an, Mbah Pawori, ayah Lek Man, berjualan makanan dengan cara dipikul dan berpindah-pindah di sekitar area Stasiun Tugu. Sejak tahun 1969, Siswo Raharjo, kelak lebih dikenal dengan Lek Man, mulai mewarisi usaha dagang ayahnya. Pada awalnya Lek Man masih meneruskan cara ayahnya berjualan, yaitu dengan dipikul dan berkeliling, belum menetap di satu tempat. Sekitar tahun 1970-an, barulah Lek Man mulai berjualan dengan cara mangkal di sebelah utara Stasiun Tugu Jogja.
Mau mengerjakan tugas atau hanya sekedar browsing sambil menikmati nasi kucing dan sate usus? Ada beberapa "angkringan modern" yang menyediakan fasilitas free wifi untuk menarik para pengunjung. Salah satu "angkringan" yang menyediakan fasilitas ini adalah Angkringan BK yang berlokasi di sebelah barat Pasar Ngasem Jogja. Disini nasi yang disajikan selalu hangat, karena tidak dibungkus kecil-kecil seperti di angkringan tradisional, melainkan langsung diambil dari magic jar. Menu yang disajikan masih seperti menu yang ada di angkringan pada umumnya, seperti sate usus, sate telur puyuh, gorengan, baceman dan lain-lain.
Bagi anda yang pernah tinggal di Jogja di era sebelum tahun 2000-an, kemudian kembali lagi ke Jogja, mungkin akan merasakan asing dengan suasana Jogja yang sekarang. Kehidupan di Jogja sudah sangat berubah. Jogja makin ramai, macet dengan semakin banyaknya kendaraan bermotor. Gaya hidup sebagian masyarakatnya pun telah berubah. Mal, hotel, cafe dan resto tumbuh subur bagaikan jamur di musim penghujan. Tapi di setiap sudut Jogja, anda tetap bisa bernostalgia. Romantisme murah ala angkringan Jogja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H