Mohon tunggu...
Elia Mahatma Rayhan
Elia Mahatma Rayhan Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Masyarakat Kritis dalam Demokrasi

1 Oktober 2019   21:52 Diperbarui: 2 Oktober 2019   07:43 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Extention Course, diskusi yang diadakan oleh Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) setiap tahun sejak tahun 2011, tahun ini dilaksanakan kembali. Dalam prolog yang disampaikan oleh dua dosen filsafat UKWMS, pentingnya keberadaan masyarakat kritis dalam demokrasi menjadi point penting pembahasan dan akan terus dibahas dalam 9 pertemuan berikutnya.

Prolog dengan tema pembahasan "Masyarakat Kritis dalam Demokrasi" disampaikan Datu Hendrawan dan Kristoforus Sri. Tema ini didasari oleh kesadaran bahwa demokrasi - kepemimpinan yang didasari oleh kedaulatan rakyat - tidak akan berjalan dengan sungguh jika tidak disertai oleh sikap kritis dari rakyat (demos) itu sendiri.

Kebaikan bersama selalu menjadi tujuan hidup bersama. Negara dibentuk dengan tujuan dasar manusia yang ingin hidup lanjut dalam kemapanan. Oleh karena itu, dibuatlah kontrak bersama. Harapannya, akan tercapai kebaikan bersama yang dicita-citakan. Namun, dalam kenyataanya, dapat ditemukan banyak masalah dalam kehidpan bersama sehingga kebaikan bersama tidak tercapai.

Korupsi, permasalahan lingkungan hidup, kerusuhan, politik yang dimaknai secara sempit - sekedar pencarian keuntungan kelompok, radikalisme, demonstrasi serta aturan yang dirasa tidak adil bagi kehidupan bersama merupakan permasalahan konkret yang dapat ditemui dewasa ini.

Para pembicara berargumen bahwa demokrasi menuntut partisipasi. Partisipasi yang dimaksud bukan sekedar partisipasi dalam menentukan pemerintahan dalam pemilu lalu pasif terhadap dinamika selanjutnya, tetapi partisipasi harus disertai dengan daya kritis. Permasalahan terjadi karena adanya sikap apatis yaitu warga, yang menjadi penopang demokrasi, enggan ikut campur dalam permasalahan yang terjadi dalam hidup bernegara.

Ada dua bentuk sikap apatis yang dapat diamati. Yang pertama adalah sikap acuh atas hal-hal yang tidak berdampak pada diri sendiri dan yang kedua adalah sikap apatis jika permasalahan yang terjadi tidak berdampak pada kelompoknya. Rutinitas seringkali membawa orang pada individualise sehingga orang tidak peduli pada hal-hal yang tidak berdampak langsung terhadap dirinya. Saat terjadi kekacauan, masyarakat baru sadar bahwa ternyata hal yang selama itu diabaikan sebenarnya sangat terkait dengan kehidupannya. Demokrasi membutuhkan partisipasi dan daya kritis. Tanpa partisipasi dan daya kritis, demokrasi hanya sebuah slogan.

Sisi lain yang juga dibahas oleh para pembicara dalam prolog Extention Course 2019 adalah bagaimana kehadiran masyarakat yang kritis dalam demokrasi sangat penting dalam konteks hidup bernegara di Indonesia. Dalam konteks tersebut, demokrasi sudah dipikirkan sejak awal oleh para pendiri bangsa. Secara umum demokrasi berarti memiliki kedaulatan rakyat sebagai tulang punggung kehidupan berbangsa dimana rakyat menentukan dirinya sendiri dan dilibatkan dalam segala bentuk dinamika bernegara.

Demokrasi mendapat wajah baru pasca reformasi. Kebekasan berpendapat, berserikat dan sebagainya kembali mendapatkan penekanan. Namun, kebebasan harus didasari sikap kritis. Jika tidak maka yang terjadi bukanlah kebebasan melainkan keadaan anarkis. Kritik yang tidak didasari sikap kritis bukanlah produk dari kebebasan yang sesungguhnya. Sikap kritis tersebut sepantasnya diarahkan terhadap kelompok masyarakat yang mengalami penindasan. Keterbukaan dan kemauan untuk melihat keluar dan melihat korban penindasan dan ketidakadilan akan membuka celah bagi kemungkinan untuk tumbuh ke arah yang lebih baik. Pada akhirnya, tujuannya adalah tidak lain dari kebaikan bersama.

Kebaikan bersama harus dilihat sebagai suatu proses, bukan sebagai sesuatu yang sudah selesai. Jika tidak masyarakat akan lupa akan ide tersebut dan jika masyarakat lupa, yang terjadi adalah munculnya sikap apatis. Dalam keadaan apatis tersebut, publik akan menikmati kehidupan bersama dan manfaat yang diberikannya tetapi lupa bahwa mereka sesungguhnya memiliki peran di dalamnya. Permasalahan dapat timbul dalam kemapanan. Mengkritisi dan mencari akar-akarnya akan berdampak besar bagi penyelesaian permasalahan tersebut. Kemiskinan struktural menjadi contoh konret dimana struktur tidak memungkinkan mereka keluar dari keadaan tersebut. Penderitaan dalam masyarakat juga menjadi contoh konkret. Hal-hal ini relevan untuk dibicarakan karena kita akan sadar bahwa masyarakat itu membaik ketika kita bisa aware terhadap persoalan-persoalan semacam itu di masyarakat. Agar tidak abai terhadap permasalahan-permasalahan semacam itu, para pembicara menawarkan tiga sikap untuk diperjuangkan. Ketiga sikap tersebut adalah sikap kritis, peduli pada persoalan sosial dan mau melibatkan diri dalam kehidupan bersama. Dengan demikian, demokrasi tidak sekedar menjadi semboyan tetapi hidup di tengah masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun