Mohon tunggu...
Money

Adakah Pajak Bea Cukai dalam Islam?

28 Oktober 2016   18:47 Diperbarui: 28 Oktober 2016   18:57 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan pelaksanaan kewajiban tersebut ( Pasal 1 poin 1 Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara). 

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah mengambil anggaran belanja negara dari keuangan negara yang bersumber dari penerimaan negara, yaitu uang yang masuk ke kas negara. Pajak bea cukai merupakan salah satu sumber penerimaan (revenue) negara Indonesia dari penerimaan perpajakan dalam menjalankan roda pemerintahan.

Jauh sebelum penerapan penerimaan negara dari pajak bea cukai yang diterapkan oleh Indonesia, pemerintahan Islam yang telah mengatur hal tersubut dimulai pada masa Umar bin Khatab, yang dilatar belakangi oleh surat dari Abu Musa al-Asy’ari menulis surat kepada beliau bahwa pemerintahan kafir harbimeminta pajak kepada pedagang muslim yang mendatangi wilayah kafir harbi sebesar 1/10, lalu Umar ibn Khatab menetukan agar ia juga mengambil pajak yang sejumlah pajak yang sama dari mereka, dari ahlu dzimmah 5% dan dari pedagang muslim 2,5% dengan batas minimal barang dagangan mencapai 200 dirham. Kemudian peraturan tersebut dilanjutkan oleh Abu Yusuf. Abu Yusuf adalah Qadli pada masa kekhilafahan Harun Ar-Rasyid menulis kitab al-Kharaj yang merupakan buku pedoman kebijakan keuangan negara khalifah Harun Ar-Rasyid yang dinamai dengan istilah usyur. Hal ini membuktikan bahwa perdagangan Islam telah memasuki perdagangan internasional.

Ketentuan pajak usyur Abu Yusuf tidak hanya dikenakan pada barang yang dibawa masuk ke negara Islam untuk dijual saja (impor), barang-barang yang dibeli dari negara Islam untuk diperdagangkan juga dikenai pajak (ekspor). Pajak usyur dikenakan hanya setahun sekali sebagaimana zakat bagi kaum muslimin. Ketentuan yang dibuat oleh Abu Yusuf terkait usyurdiantaranya:

  • Batas minimal barang yang dikenakan pajak bea cukai adalah 200 dirham dikonversikan sekarang sekitar Rp.707.802,26,-.
  • Barang yang terkena usyur adalah barang yang diperdagangkan, bukan yang tidak diperdagangkan.
  • barang kebutuhn pribadi tidak terkena usyur.
  • Besaran usyur adalah 10% bagi kafir harbi, 5% bagi kafir dzimmi dan 2.5% bagi muslim.
  •  Muslim yang telah bersumpah telah membayar zakat pada barang dagangannya tidak dikenai usyur,dan
  • barang haram yang dibawa kafir harbi atau kafir dzimmi tetap dikenai usyur dengan batas minimal 200 dirham, disertai pengawasan yang ketat.

Lalu bagaimana ketentuan bea cukai yang diterapkan di Indonesia? Ketentuan pajak bea cukai di Indonesia diatur dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2006 perubahan Undang-undnag nomor 10 tentang Kepabeaan dan Undang-undang nomor 39 tahun 2007 perubahan undang-undang nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai. Dalam Pasal 1 UU No 39 Tahun 2007, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang. Karakteristik barang yang terkena cukai adalah

  • konsumsinya perlu dikendalikan,
  • peredaraanya perlu diawasi,
  • pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau
  • pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan negara ( Pasal 2 UU No 39 Tahun 2007).

Dalam Pasal 5 UU No 39 Tahun 2007 tentang Cukai, menentukan cukai tembakau dalam tarif tinggi untuk tembakau yang dibuat di Indonesia 275 % dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik atau 57 % dari harga dasar apabila dasar harga yang digunakan adalah harga jual eceran. Adapun untuk barang impor 275% dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk. Namun, untuk barang cukai lainnya adalah 1150% dan 80% dari harga dasar yang ketentuan harga jualnya sama dengan ketentuan harga jual tembakau baik yang terbuat di Indonesia maupun untuk diimpor. Bea cukai dikenakan bagi setiap individu dan atau badan hukum yang mengekspor atau mengimpor barang, baik untuk diperjualbelikan lagi atau untuk konsumsi pribadi.

Hal yang menjadi perbedaan antara konsep usyur Abu Yusuf dengan bea cukai yang diterapkan di Indonesia adalah berkenaan dengan sifat dan karakteristik barang yang terkena bea cukai, presentasi barang terkena cukai, jangka waktu kena pajak dan subjek pajak. Penekanan Abu Yusuf terkait barang yang terkena cukai hanya dikenakan pada barang yang akan diperdagangkan baik ekspor maupun impor, dengan batas minimal barang dagangan 200 dirham, dan membedakan persentase antara muslim, kafir dzimmi dan kafir harbi,dengan subjek hukumnya adalah setiap individu atau kelompok pedagang dan usyur yang didapat dari pedagang muslim dimasukan ke dalam pos zakat. 

Adapun di Indonesia, sifat dan karakteristik barang yang terkena pajak ditentukan dalam undang-undang , presentasi tarif cukai yang diambil adalah dalam tarif tinggi, dan subjek pajaknya adalah orang dan badan hukum status agama tidak menjadi acuan penentuan tarif, objeknya adalah setiap barang baik dengan tujuan untuk diperdagangkan atau tidak diperdagangkan.

Oleh karena itu, diantara kedua konsep bea cukai di atas sama-sama memiliki tujuan yang luhur menjadikan bangsanya tertib, aman, sejahtera dan berkeadilan, serta kemaslahatan dunia dan akhirat, namun semua itu akan terlaksana dengan baik jika setiap individu memiliki kesadaran hukum, jujur dan amanah dalam menjalankan tugas. Dengan demikian tidak ada pihak yang dirugikan dan terzalimi dengan aturan tersebut, menentukan tarif yang adil,agar terhindar dari penyimpangan-penyimpangan. Konsep subjek bea cukai Abu Yusuf mengenakan bea cukai kepada barang yang akan diperdagangkan bisa diberlakukan di Indonesia, dengan syarat-syarat dan pengawasan yang ketat terkait dengan barang yang dibawa oleh setiap individu, atau pun membedakan persentase tarif antara barang yang diperdagangkan dan barang yang tidak diperdagangkan dengan bijaksana, dan semoga pengelola bea cukai syari’ah pun berkembang seiring perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia.

*Elis Nurhasanah/Mhs.KTTI-UI/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun