[caption id="" align="aligncenter" width="319" caption="foto dari http://the-otherside-of-history.blogspot.com"][/caption]
Belum genap 40 hari berita mengenai Lapas Cebongan (23 Maret 2013), telah disusul kemudian pada tanggal 27 Maret 2013 terdengarberita tewasnya Kapolsek Dolok Panribuan, AKP Andar Yonas Siahaan. Dan belum hilang rasa heranya tadi sore (06 April 2013) terdengar kabar penembakan kepala Rumkit Bhayangkara Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Kombes Pol Purwadi. Diantara dan sebelumnya kasus itu juga ada berita-berita seperti kasus pembakaran kantor Polres OKU serta pembacokan Sertu Sriyono, anggota Intel Kodim Yogyakarta.
Awal tahun 2013 sudah terasa panas seakan-akan hujan pun tidak bisa membawa berkah, ada apa dengan bangsa yang terkenal santun dan beradab ini. Sedang sakitkah?
Harapannya peristiwa-peristiwa ini dapat dipahami sebagai sinyal-sinyal Ilahi untuk intropeksi diri bagi para pemimpin dalam mengelola negeri ini. Menurut penulis peristiwa – peristiwa tersebut merupakan buah dari kelakuan para pemimpin yang suka berkorupsi maupun kolusi. Kenapa korupsi bisa menyebabkan bangsa ini sakit?
Karena-kadang untuk menjadi pemimpin atau pejabat di negeri ini perlu modal entah itu namanya pelicin, maupun money politic, modal jujur dan pintar saja tidak terlalu laku kalau tanpa doku. Kadang modal dicari dari pinjaman maupun jual harta bendanya, yang akhirnya setelah jadi pemimpin yang dipikirkan hanya mengembalikan dan menumpuk harta secepatnya atau istilahnya gaji nomor sekian yang penting sabetannya.
Dari situ rakyat mulai ditarik isi kantongnya mulai dari pungli maupun suap setiap berurusan dengan mereka. Peraturan tentang suap pun dibuat agar penyuap tidak berani lapor, karena takut ikut tertangkap. Hal ini aneh jika pemerintah ingin membasmi suap lebih baik penyuap tidak usah dikenai sanksi hukum, agar sehabis menyuap bisa laporkan pejabat busuk tersebut. Dengan metode ini bisa dipastikan semua pejabat akan takut untuk menerima suap. Masa hal seperti suap-suap kecil saja harus dibongkar oleh seorang turis asing, khan malah lebih memalukan. Apa kata dunia?
Dan jika pejabat sudah mulai silau dengan yang namanya uang sabetan, tentu saja kinerjanya juga sudah mulai ngawur. Semboyan “kalau bisa diperlambat kenapa mesti dipercepat, kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah, kalau bisa nyantai (males-malesan) kenapa harus serius” mulai diterapkan kepada rakyatnya. Mulai dari sini pula model pejabat seperti ini sudah tidak malu memberikan contoh-contoh bejat kepada anak buahnya. Sudah banyak pemimpin negeri ini yang tidak bisa memberikan tauladan kepada anak buah dan rakyatnya.
Selain akibat korupsi dari para oknum pemimpin (dibaca: oknum kok banyak), maka peristiwa-peristiwa tersebut jugs diakibatkan karena lemahnya penegakan hukum yang tidak bisa mengamputasi masalah preman berdasi yang suka korupsi, dan hal ini sudah terbukti harus lahir KPK yang terpaksa harus menangani hal tersebut.
Harapan penulis bagi para koruptor bersikap ksatria akui saja sepak terjangnya dan contolah pengakuan para prajurit kita yang terlibat kasus Cebongan. Apa kalian tidak malu jika banyak keteladanan yang berasal dari para rakyat jelata dan kurang pendidikan di negeri ini?
Setali tiga uang penegakan hukum di lapangan juga sama parahnya, preman-preman bergentayangan dengan aturan hukum sendiri. Bahkan disinyalir preman-preman pun dipiara untuk mengumpulkan pundi-pundi. Memelihara preman bak memelihara macan waktu kecil mungkin lucu karena minumnya susu, namun setelah besar dan lapar pasti akan bikin onar.
Sebetulnya memelihara “macan” ini bukan tugas dari aparat hukum, namun tugas semua instansi kementrian agar “macan” tadi dapat menjadi “kucing” yang lucu. Nah kalau ada yang tetap menjadi macan lebih baik tembak mati saja, karena sudah tidak bisa dibina kecuali dibinasakan. Dan dalam hal ini pejabat jangan bilang sulit, kalau merasa sulit lebih baik tidak usah jadi pejabat.
Satu hal yang penting juga bagi para aktivis HAM, bahwa hak hidup itu buat semua orang termasuk para aparat, untuk itu sebisa mungkin diatur volume suaranya agar balance jadi enak didengar. Jangan sampai kalau ada aparat yang kilaf teriaknya sampai kutub utara dan selatan, namun ketika ada aparat yang dibunuh oleh preman malah mlempem seperti krupuk. Coba kita pikirkan kalau pejahat sudah berani sama aparat, terus bagaimana rasa aman rakyat.
Walaupun memang aturan mereka hanya boleh bersuara kalau aparat salah terhadap rakyat, namun khan bisa dipilah siapa yang terkena salah pejahat kah atau rakyat tak bersalah kah. Kalau aturan HAM saja bisa standar ganda antara untuk rakyat dan aparat, maka harusnya HAM juga bisa standar ganda untuk rakyat tak bersalah dengan penjahat.
Dan begitu pula penulis rasa belum saatnya teriak-teriak minta revisi UU Peradilan Militer, hal ini hanya akan memancing jiwa corsa dari rakyat yang sudah muak pada sepak terjang para preman, untuk tidak simpati bahkan membenci para aktivis HAM di negeri ini. Mereka yang sebetulnya tidak ada hubungan langsung dengan UU tersebut, namun saat ini rakyat haus tauladan yang sedikit heroik akan keadilan terhadap rasa kegalauan akan sepak terjang para preman.
Semoga jayalah negeriku, wibawalah pejabatku dan tegaslah aparatku!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H