Mohon tunggu...
Nur Hudda Elhasani
Nur Hudda Elhasani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Sekarang ini juga aktif menulis di http://flora-faunaindonesia.blogspot.com/ yang berisi tentang keaneka ragaman flora dan fauna di Indonesia\r\ngooglebe13744e1ad07cac.html

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Malu, Di Kanal Van Der Wijk

3 Maret 2013   04:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:25 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Talang Van der Wijk dari http://www.rnw.nl"][/caption]

Terus terang saja kisahku ini terpicu oleh tulisan mbak Marul salah satu kompasianer yang menulis sebuah puisi tentang kanal Van der Wijk yang merupakan saudara kembar kanal Mataram.Kanal Van der Wijck masih terlihat kokoh hingga detik ini dan merupakan saluran irigasi utama wilayah Yogyakarta yang mengairi 20.000 ha sawah. Ibarat darah yang mengaliri seluruh tubuh.

Kanal Van der Wijck merupakan bagian dari bangunan bersejarah non gedung yang dicanangkan oleh Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Nama Van der Wijk diduga merupakan pemimpin pembangunan kanal yang dibangun tahun 1909. Kanal tersebut dibangun pada saat Ngayogyakarto Hadiningrat dipimpin oleh seorang Raja yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Sedangkan kisah yang akan aku ceritakan ini ketika aku masih sekolah SMP di bangku kelas III yang salah satu kegemaran aku dan kawan-kawanku adalah mandi di kanal Van der Wijk tersebut, maklumlah namanya di desa memang tidak ada yang namanya kolam renang apalagi water boom atau water byuuur yang seperti di Gunung Kidul saat ini. Walaupun jenis “fasilitas” di kanal Van der Wijk ini, sebetulnya tidak kalah dengan fasilitas di water boom yang membedakan hanyalah sisi kwalitas dan keamanan yang jelas jauh ketinggalan karena hampir semua alami dan tidak sengaja dibuat untuk itu. Jadi bisa kita bayangkan andrenalin kita bakalan terpompa habis, karena salah perhitungan nyawa pun bakal melayang, alias mati tenggelam.

Aku dan kawan-kawanku dapat leluasa memilih tempat untuk main seluncuran, main lompat salto, berenang di arus tenang, berenang di arus berputar, berenang di arus deras, yang dangkal maupun yang dalam seperti di teleng Kedung Prahu. Kami pun sering main perahu dengan gedebog (batang) pisang atau tubing dengan memakai ban dalam truk maupun dengan kain sarung pun biasa kita lakukan.

Saat itu tidak ada yang mengenal rasa takut bermain air di kanal Van der Wijk, karena mungkin factor usia yang baru SMP yang diketahui hanya rasa senang saja. Hal tersebut tentu saja berbeda dengan orang tua kami…. Ya mereka takut kalau anak-anaknya ada yang mati tenggelam, walaupun kalau mau jujur mereka pun dulu juga melakukan hal serupa dengan anak-anaknya kini. Memang ada saja anak tetangga yang mati tenggelam namun  juga tidak terlalu sering, meskipun demikian bagi semua orang tua juga akan mempunyai rasa kawatir yang sama terhadap anak-anaknya.

Oh ya aku mau berbagi sepenggal cerita yang tidak mungkin aku lupakan. Peristiwa membuat aku malu bingung walaupun sekarang malahan sering membuat aku ketawa kalau teringat kenakalanku waktu itu.

Seperti biasanya setelah aku pulang sekolah sehabis makan siang langsung ngabur bermain sama teman-teman sebayaku. Namanya anak desa memang tidak mengenal tidur siang apalagi pulang sekolah langsung kursus…..wah bisa membuat rambutku keriting kali. Siang hari kami bermain dari sekitar jam 13.00 sampai datangnya sholat Ashar, bahkan kadang sampai menjelang magrib juga belum pulang kalau tidak dicariin sama orang tua dengan gebukannya di tangan. Dan biasanya jika melihat salah satu dari orang tua kami ada yang datang, kami pun serentak lari bubar ke rumah masing-masing.

Namun saat itu, setelah aku pulang sekolah bersama teman-temanku langsung bersama-sama bersepeda pergi ke kanal Van der Wijk untuk berenang, yang tentu saja aku tidak minta izin ke orang tua karena bakalan dilarang mandi di kanal tersebut. Dan kami berlima sepakat untuk berenang di arus yang deras, yaitu di talang di atas kali Putih atau sekitar pohon randu yang diceritakan oleh mbak Marul tadi.

[caption id="attachment_230427" align="aligncenter" width="300" caption="buk renteng Van der Wijk http://www.flickr.com"]

13622848422136302828
13622848422136302828
[/caption]

Talang ini merupakan pipa besi berbentuk setengah lingkaran yang merupakan penghubung kanal dari sisi satu ke sisi yang lain karena melewati di atas kali Putih. Diameter yang kecil kalau tidak salah hanya 1.5 meter dengan panjang sekitar 10 meter menyebabkan arus air di talang tersebut cukup deras. Selain itu lebar kanal Van der Wijk, sebelum masuk ke talang melalui “buk renteng” lebarnya sekitar 3 atau 4 meteran.

Sesampainya di tempat tersebut kami pun langsung bergegas mencopot seluruh pakaian kami alias berbugil ria. Yach jangan heran waktu itu aturan harus berpakaian untuk berenang memang tidak ada seperti di water boom di kota besar saat ini, jadi ya terpaksa pakai kulit alami masing-masing. Pakaian kami diletakkan di pinggiran kanal dan kami pun asyik menikmati derasnya aliran kanal di Van der Wijk tersebut.

Dengan memanfaatkan dorongan air di atas talang kami pun menghanyutkan diri dari Talang sampai ke Teleng (Dam) kira-kira jaraknya 500 meter. Dan kembali ke tempat semula dengan jalan berlarian di sepanjang bibir kanal tersebut, karena kalau lewat jalan air tidak mungkin melawan kuatnya arus air. Jadi ya berbugil ria lagi terus masuk ke air lagi, terus menghanyutkan diri lagi begitu dilakukan sampai kami pun bosan.

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="buk renteng Van der Wijk http://farm1.staticflickr.com"]

[/caption]

Jam sudah menunjukkan pukul 16.00 sore waktunya pulang, sebelum kena marah orang tua. Kami bergegas memakai pakaian masing-masing. Namun aku mulai kebingungan, karena sedari tadi celingukan mencari-cari celana kok nggak menemukan, sementara keempat temanku sudah bersiap di atas sepeda masing-masing.

Setelah aku cari dan tanyakan ke teman-temanku, aku berkesimpulan celana hilang mungkin tertiup angin terus jatuh ke air dan hanyut entah kemana. Waduh bingung nih…gimana pulangnya, masa sepanjang jalan raya naik sepeda tanpa celana….apa kata dunia?.. Hampir menangis rasanya membayangkan hal tersebut.

Setelah berembug dengan teman-temanku, kemudian seorang temanku segera pulang mengambil celana untuk dipinjamkan ke diriku. Hemm…lega rasanya dan kami pun bisa pulang bersama-sama dengan naik sepeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun