[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="Alat Sadap Made in Indonesia"][/caption]
Heboh berita soal sadap menyadap, baik di media dalam negeri maupun media Australia sendiri, hampir semua pejabat tinggi strategis di Indonesia angkat bicara dan tidak terima soal kejadian tersebut. Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa sudah menyatakan bahwa tanggung jawab saat ini berada di pundak Australia untuk menjelaskan apa yang terjadi dan membuat komitmen bahwa hal itu tidak akan terjadi lagi.
Bahkan kita mendengar Duta Besar Indonesia untuk Canberra, Nadjib Riphat Kesoema, akan meninggalkan ibukota Australia pada Selasa ini. Ia mendesak pemerintah Australia untuk menjelaskan tentang upayanya memata-matai Indonesia.
Awal mula heboh soal penyadapan ini, karena Australian Broadcasting Corp melaporkan bahwa mereka memiliki dokumen dari pembocor rahasia National Security Agency, Edward Snowden, yang menyatakan Direktorat Sinyal Australia juga menyadap ponsel ibu negara Kristiani Herawati serta delapan menteri dan pejabat pemerintah.
Dokumen itu menunjukkan intelijen Australia menggunakan segala cara untuk mengumpulkan data Presiden Susilo Bambang Yudhyono. Dokumen juga memperlihatkan upaya menyadap percakapan Presiden SBY terjadi setidaknya dalam satu kali kesempatan. "Dokumen ini juga menunjukkan upaya intelijen melacak aktivitas telepon Presiden SBY selama 15 hari pada Agustus 2009."
Menurut pendapat penulis perilaku intelejen asing seperti hal ini sebetulnya adalah lumrah dilakukan, tentu saja dengan risiko jika ketahuan akan membuat runyam hubungan bilateral. Apalagi seperti Negara kita ini yang sedang tumbuh perlu terus dipantau baik dari sisi arah perpolitikan, kebijakan luar negeri dan tentu saja peningkatan kemampuan militernya.
Hanya saja kalau dilihat dari sisi kepatutan terasa kurang tepat, karena pembicaraan kita dikuping oleh tetangga dan seolah-olah kita dicurigai seperti musuh bebuyutan saja. Coba saja kita buktikan apakah di atap gedung-gedung kedubes asing di Jakarta ini banyak antenna-antena bertengger, yang tentu saja berguna untuk monitoring frequency yang berseliweran di udara ini.
Seandainya pejabat di Indonesia ingin terhindar dari penyadapan mungkin perlu menggunakan teknologi enkripsi, namun asal tahu aja alat-alat cangih untuk penyadapan juga buatan mereka-mereka juga. Namun begitu walau sudah dipakai teknologi enkripsi atau persandian secanggih apapun, selama semua komunikasi tersebut masih ditransmisikan melalui ranah publik atau jejaring yang bisa diakses oleh teknologi buatan manusia, maka tetap akan bisa dimonitor pihak lain dengan menggunakan teknologi setara.
Mungkin agar pembicaraan penting para pejabat tidak mudah dikuping perlu juga enkripsi pembicaraan dengan menggunakan bahasa daerah. Hitung-hitung sambil melestarikan bahasa daerah yang tercatat lebih dari 115 bahasa daerah (sumber http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com).
Dan mungkin juga bisa ditambah dengan penguasaan bahasa slank (boso walikan) seperti di Yogya : dagadu, japemethe, ponyeb dll, atau paling manjur ya jangan gunakan teknologi komunikasi pakai teknologi jaman batu pasti sulit disadap. (guyon saja). Namun jangan salah soal sadap-menyadap ini sejak jaman dulu juga sudah dikenal di Indonesia, nenek moyang kita banyak yang ahli sadap, contohnya sadap nira, sadap karet dll.
Sumber foto: https://www.facebook.com/ajib.setyabudi?fref=ts
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H