Booommm! Tanah bergetar hebat. Seketika memburaikan debu, mengaburkan pandangan. Peluru berlesatan, membisingkan telinga. Para pejuang membarakan api perlawanan. Berkelindan satu, berpadu mencacah penjajah, tiada tawar-tawaran. Di bawah paparan Sang Surya yang demikian sumringah membanjirkan peluh lagi memperparah dahaga, aku bersama para penduduk pribumi menepiskan lemah. Demi melihat gubuk kami bebas merdeka. Meski, aku sadar jalan ini teramat berat, penuh dilema. Allahu Akbar!!! Semesta dipenuhi takbir. Perang ini, dzikir kami. Tiada peduli lagi dengan incaran kematian dari kanan kiri. Bagi kami kematian adalah pembebasan. Kematian di medan juang adalah kemuliaan. Begitulah bapak-ibu kami mengajarkan kehidupan. Bapaaaakk!!! Suara anakku terngiang-ngiang seolah ia bergelayut manja di lengan. Memelas wajahnya, memintaku agar bertahan dengannya, membersamainya hari ini ke pasar, membeli kain biru impian, lantas menjahitkannya menjadi seragam pelaut yang gagah. Tak berbilang sudah ia merajuk hendak menjadi seorang pelaut nantinya. Tapi, Nak, bapak harus memenuhi panggilan ini. Kelak, Gusti Allah pasti memberimu kain biru yang kau pinta. Brakk… Brukkk!!! Beberapa pejuang bertumbangan di sampingku. Rebah oleh peluru. Sementara keangkuhan para penjajah itu berlarian menyingsing, takut oleh bambu runcing. Aku terus memanjat gedung Oranje ini dengan tangga kayu. Ah, tinggal sehasta lagi di puncak tertinggi. Dan… Krakk..krakk..krakk.. Kain biru itu kurobek kasar dengan gemuruh amarah. Menyisa dua warna paling indah di pelupuk mata. Kibarannya disambut takbir bergaung gema. Merah Putih perkasa  mengangkasa di langit Surabaya. Kain biru ini untuk anakku. Tapi kini tak benar-benar biru. Sebab merah darah telah tumpah padanya. Dan tangan-tangan dari cahaya berebutan menyucikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H