Mohon tunggu...
Chifrul El Hamasah
Chifrul El Hamasah Mohon Tunggu... -

Someone who loves to learn how to live life meaningfully

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kain Biru Buat Anakku...

7 Desember 2011   05:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:43 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Booommm! Tanah bergetar hebat. Seketika memburaikan debu, mengaburkan pandangan. Peluru berlesatan, membisingkan telinga. Para pejuang membarakan api perlawanan. Berkelindan satu, berpadu mencacah penjajah, tiada tawar-tawaran. Di bawah paparan Sang Surya yang demikian sumringah membanjirkan peluh lagi memperparah dahaga, aku bersama para penduduk pribumi menepiskan lemah. Demi melihat gubuk kami bebas merdeka. Meski, aku sadar jalan ini teramat berat, penuh dilema. Allahu Akbar!!! Semesta dipenuhi takbir. Perang ini, dzikir kami. Tiada peduli lagi dengan incaran kematian dari kanan kiri. Bagi kami kematian adalah pembebasan. Kematian di medan juang adalah kemuliaan. Begitulah bapak-ibu kami mengajarkan kehidupan. Bapaaaakk!!! Suara anakku terngiang-ngiang seolah ia bergelayut manja di lengan. Memelas wajahnya, memintaku agar bertahan dengannya, membersamainya hari ini ke pasar, membeli kain biru impian, lantas menjahitkannya menjadi seragam pelaut yang gagah. Tak berbilang sudah ia merajuk hendak menjadi seorang pelaut nantinya. Tapi, Nak, bapak harus memenuhi panggilan ini. Kelak, Gusti Allah pasti memberimu kain biru yang kau pinta. Brakk… Brukkk!!! Beberapa pejuang bertumbangan di sampingku. Rebah oleh peluru. Sementara keangkuhan para penjajah itu berlarian menyingsing, takut oleh bambu runcing. Aku terus memanjat gedung Oranje ini dengan tangga kayu. Ah, tinggal sehasta lagi di puncak tertinggi. Dan… Krakk..krakk..krakk.. Kain biru itu kurobek kasar dengan gemuruh amarah. Menyisa dua warna paling indah di pelupuk mata. Kibarannya disambut takbir bergaung gema. Merah Putih perkasa  mengangkasa di langit Surabaya. Kain biru ini untuk anakku. Tapi kini tak benar-benar biru. Sebab merah darah telah tumpah padanya. Dan tangan-tangan dari cahaya berebutan menyucikannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun