Aku telah menuntaskan buku ini beberapa waktu lalu, namun baru sekarang aku berniat untuk mengulasnya. Tentu aku bukan orang yang benar-benar menguasai dunia pengulasan buku, hanya saja aku ingin membagikan pengalamanku membaca buku ini.
Pertama, aku sangat menghargai Penulis yang dapat menulis buku seapik ini. Jalan ceritanya mengalir lembut dan tidak ada kesan memaksa dan juga membawakan cerita yang fresh. Gaya bahasa yang dipilih oleh penulis cocok denganku, ada beberapa percakapan dalam bahasa Jawa yang memperkuat latar cerita. Mungkin saran dariku, letakan translasi diakhir halaman saja. Dengan begitu aku tidak perlu bolak-balik ke akhir bab tertentu untuk membaca translasinya.
Bisa dibilang buku ini adalah buku pertama yang kubaca dengan genre fiksi sejarah, jadi aku belum bisa membandingkan dengan buku serupa. Namun aku sangat menikmati setiap halamannya karena membacanya tidak menimbulkan rasa bosan sama sekali.
Novel ini menggunakan alur maju mundur, menceritakan kisah masa lalu dan cerita masa sekarang. Karakternya yang dibuat sederhana dan unik memikatku untuk terus membacanya. Karakter favoritku adalah Idroes Moeria, ia bukan tokoh utama dalam keseluruhan cerita namun menurutku, sosok Idroes Muria memiliki kualitas-kualitas yang bisa dicontoh, seperti saat memperjuangkan cinta Roemaisa. Idroes Moeria belajar membaca dan menulis untuk memenuhi syarat untuk menikahi Roemaisa. Idroes Moeria juga gigih dalam mengejar visi dan misinya, terus berusaha dan mencoba. Sosok Idroes Muria yang mencintai keluarganya juga membuatku menyenangi karakter ini.
Aku menyukai gambaran perempuan-perempuan kuat dalam cerita ini seperti Roemaisa dan Jeng Yah. Gigih dan pantang menyerah, adalah hal yang selalu memikatku untuk menyukai karakter tertentu. Dalam kesulitan dan kesempitan, mereka dapat bertahan walau sulit. Aku harap cerita ini dapat menginspirasi perempuan-perempuan lainnya untuk berkarya dan berdiri pada kakinya sendiri.
Karakter lainnya yang aku senangi adalah Karim, karena aku melihat ada beberapa kesamaan antara aku dan Karim yang observant. Karim si anak tengah yang tidak dapat menjadi pewaris utama seperti Tegar, namun tidak memiliki rasa iri barang sesenti pada Tegar, kakak sulungnya. Penggambaran karakter dalam cerita ini terasa dekat dan nyata. Membuatku kagum dengan kemampuan penulis.
Buku ini pun sudah diadaptasi menjadi film di Netflix, namun aku lebih menyukai karya "orisinal". Karena penggambaran Jeng Yah sebagai perempuan yang terbutakan cinta di film membuatku jengah.
Secara keseluruhan, aku memberikan 5 dari 5 bintang untuk buku ini. Aku membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menuntaskan buku ini. Bukan karena tidak seru, justru sebaliknya. Aku merasa sayang untuk menghabiskan buku ini.Â
Terima kasih banyak untuk penulis, Ratih Kumala atas kontribusinya dalam dunia literasi di Indonesia. Semoga akan ada novel-novel ciamik lainnya untuk menyemarakkan literasi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H