“Dulu, orang-orang menganggap saya sebagai orang yang tidak berguna. Mereka menjauhi saya. Tapi sekarang, saya bersyukur karena sekarang mata mereka sudah terbuka. Pemerintah, tokoh masyarakat, bahkan keluarga sendiri sudah menerima saya. Mereka mengakui keberadaan saya”.
[caption id="attachment_264072" align="aligncenter" width="300" caption="Mama Elisabet Hoar Lak seusai mengikuti kegiatan pertemuan di tingkat desa"][/caption] Berjalan tertatih-tatih menggunakan dua tongkat. Kedua kakinya tidak bisa ditekuk. Saban hari melakukan aktifitas dengan posisi berdiri disanggah dua tongkat. Merebahkan diri hanya di saat tidur. Kedua pergelangan tangan tetap tertekuk dengan jari-jari tangan sedikit melingkar dan kaku. Kalau bicara sedikit terbata dengan lafal yang perlu diulang agar lebih jelas maksudnya. [caption id="attachment_264075" align="aligncenter" width="300" caption="Keseharian Mama Elis dengan latar belakang tempat tinggalnya."]
Mama Elis, biasa disapa, seorang janda berusia 55 tahun, tinggal bersama putranya yang juga penyandang disabilitas. Keseharian mama Elis adalah bertani. Namun belakangan ini mama Elis lebih banyak menghabiskan waktu di rumah karena keterbatasan secara fisik untuk melakukan aktivitas sebagai petani.
“Saya bisa membuat (menganyam) kristik. Dulu saya punya banyak kristik yang saya buat sendiri. Saya juga bisa buat boneka. Saya belajar waktu saya masih tinggal dengan para suster di biara”, cerita mama Elis penuh semangat. Mama Elis bercerita banyak tentang keterbatasan fisik yang dialaminya. Mama Elis mengalami lumpuh dan buta ketika masih berusia sekolah dasar. Atas bantuan salah satu tarekat, dirinya menjalani operasi medis yang sangat membantunya bisa berjalan dan melihat lagi.
Kami bercerita banyak hal terkait dengan kesehariannya. “Saya sering diajak anak-anak pergi timba air atau cari kayu bakar. Memang tidak ada orang jahat yang mengganggu, tapi anak-anak senang ajak saya jalan sama mereka. Mereka senang dengan saya”, cerita mama Elis, sambil membandingkan dirinya di masa lalu dalam hubungan dengan kehidupan bersosialisasi.
“Dulu, orang-orang menganggap saya sebagai orang yang tidak berguna. Mereka menjauhi saya. Tapi sekarang, saya bersyukur karena sekarang mata mereka sudah terbuka. Pemerintah, tokoh masyarakat, bahkan keluarga sendiri sudah menerima saya. Mereka mengakui keberadaan saya”. Demikian mama Elis menambahkan.
Program Pengurangan Resiko Bencana yang memberikan perhatian lebih kepada kelompok rentan (perempuan, anak-anak dan penyandang disabilitas) di beberapa wilayah desa di DOB Malaka, menggerakkan perubahan positif di dalam diri mama Elis. “Hau kakarak Liu,imik serwisu nee tan bodik halo hau mos bele ba oin no bele dale”, demikian penjelasan singkat mama Elis dalam bahasa Tetun, yang terjemahan harafiahnya kira-kira demikian: ‘Saya sangat senang dengan program ini karena bisa membuat saya tampil dan berani berbicara’.
Pada saat pembentukan tim PRB di tingkat desa, mama Elis terpilih sebagai salah satu anggota Tim Siaga Bencana Desa Lawalu. Saat itu tanggapan masyarakat beragam. Ada yang mengatakan, ‘kenapa pilih itu Elisabet yang bengkok itu sebagai TSBD?’. Dan sederet cibiran lain yang ditujukan kepada mama Elisabet.
[caption id="attachment_264076" align="aligncenter" width="300" caption="Ekspresi lepas Mama Elisabet saat bersama Field Facilitator, Tony Leik dari Handicap International Federation"]
Perubahan luar biasa yang sangat dirasakan oleh mama Elisabet adalah secara sosial bermasyarakat, dirinya sama seperti warga masyarakat lainnya. Tidak ada lagi perbedaan yang mengarah kepada peminggiran. Hak partisipasinya dihargai.
Seperti yang ditulis dalam http://ruangbacadantulis.blogspot.com/2012/05/stigma-sosial-terhadap-penyandang.html, JK Rowling mengatakan: "Jangan lihat sebagai apa orang dilahirkan, tapi menjadi apa dia!” .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H