Tulisan ini berangkat dari fenomena yang ada di Desa Tegalgubug Kabupaten Cirebon dan sekaligus penulis merupakan sosok yang lahir di desa tersebut. Penulis menggunakan pendekatan sosio-kultural-humanis dengan analisis gender. Pendekatan itu dengan melihat persoalan sosial yang memprioritaskan keharmonisan dalam memupuk tali persaudaraan dalam lingkup aktifitas kultur budaya tertentu.Â
Persoalan gender ini merupakan istilah kekinian yang ramai diperbincangkan dengan menilik secara fokus terhadap pergerakan-pergerakan kaum perempuan dalam realitas sosial yang menonjolkan kesetaraan di antara laki-laki dan perempuan. Persoalan tentang perempuan ini sebenarnya tidak terlalu dipermasalahkan dalam masyarakat tertentu, karena bisa jadi ditemukan kultur budaya yang lebih mengunggulkan posisi perempuan di atas lelaki.Â
Namun, jika hal ini dibenturkan dengan kacamata agama, maka nushush al-Din (teks-teks agama) sebagian ada yang mendukung penuh peran perempuan dan bahkan memenjarakan peran perempuan dalam ranah agama atau pun publik.
****
Desa Tegalgubug merupakan desa yang berada di sebelah barat dari kabupaten Cirebon dengan kecamatan Arjawinangun. Di Tegalgubug terdapat dua elemen yang cukup mencolok yang sampai sekarang masih tetap eksis. Pertama, Tegalgubug dikenal dengan desa santri karena terdapat banyak pondokan; baik pondok laki-laki atau perempuan, baik yang fokus terhadap al-Qur’an atau pun Kitab. Kedua, di samping banyak pondokan-pondokan, perekonomian di desa tersebut dinilai cukup maju. Desa Tegalgubug memiliki sebuah pasar Induk Sandang yang menurut catatan lembaga survei terbesar se-Asia Tenggara. Tetapi, karena desa tersebut lekat sekali dengan budaya santri/Islami, yang kemudian memunculkan tipologi khusus model sistem perdagangan yang ada di pasar Tegal gubug.
Dari dua elemen di atas, persoalan kedua yang tampaknya kurang diminati dalam menjelajah atau eksplorasi hal-hal yang berkaitan dengannya. Bagaimanapun, para pedagang di pasar Induk Sandang Tegalgubug diwarnai dengan keunikan yang khas, seperti para penjual berdagang dengan memakai peci, baju kokoh dan sarung, persis ala santri.Â
Begitu pun dengan para perempuan. Hal ini bisa di identifikasi oleh dua hal. Pertama, dipengaruhi oleh latar belakang lingkungan desa yang cenderung agamis karena faktor pesantren. Kedua, serta para penjual yang dulunya banyak menggembara mencari ilmu agama (tafaqquh fi al-Din) ke berbagai pelosok jawa seperti; Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Tradisi santri tersebut melekat erat dalam budaya pasar yang ada di Desa Tegalgubug. Uniknya, para perempuan yang berlatar belakang pesantren sudah barang tentu mengetahui tentang posisi-posisi terhadap mereka dalam lingkup keluarga. Literatur fikih yang diajarkan di pesantren mayoritas menempatkan posisi lelaki yang berada di atas perempuan.Â
Namun, perempuan di desa Tegalgubug justru sebaliknya, mengubah persepsi yang selama ini dikenal dalam tradisi fikih klasik yang mengatakan posisi perempuan hanya sub-ordinasi dari lelaki dan sekaligus membantah persepsi orang yang mengatakan bahwa perempuan identik dengan dapur. Kendati pun kaum perempuan tidak semuanya santri akan tetapi setidaknya mereka pun ikut terpengaruh oleh roda perekonomian yang ada di desa tersebut.
Aktifitas pasar Tegalgubug biasa digerakkan pada hari Senin-Selasa dan Jumat-Sabtu. Jenis barang yang diperdagangkan bermacam-macam jenis sandang seperti pakaian, kebaya, kain bahan, dan lain-lain. Konsumen atau pembeli mayoritas dipenuhi oleh pembeli dari wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah seperti: Majalengka, Kuningan, Tegal, Brebes, Pekalongan, Kudus, dan Jepara. Bahkan lintas luar jawa, seperti Padang, Sulawesi, Kalimantan, tidak jarang pula banyak pembeli yang datang dari Jakarta.Â
Se-pengetahuan penulis, para pembeli tersebut biasanya membuat semacam basis yang gunanya adalah untuk merekatkan tali persaudaraan sebagai perantau dan terlebih sebagai orang yang ingin mencari modal di pasar Tegalgubug. Pasar Tegalgubug dalam hal ini sifatnya hanya menyediakan ladang mentah yang belum digarap dalam jenis dagangan tertentu seperti kain bahan. Jadi para konsumen tersebut membeli sekaligus dan nantinya akan diolah kembali di rumahnya masing-masing.Â
Menurut yang penulis denger, mayoritas mereka (pembeli) di rumah membuka konfeksian (barang yang diolah secara massal) yang memiliki orientasi memproduksi macam-macam jenis barang. Akan tetapi yang paling penting di sini adalah adanya simbiosis mutualisme atau sikap saling menguntungkan satu sama lain yaitu antra Tegalgubug dengan daerah-daerah lainnya.
Angka pedagang perempuan di pasar hampir sepadan dengan lelaki dengan jenis dagangan yang berbeda-beda. Maka tidak heran jika ditemukan fenomena kaum perempuan di pasar terbiasa bopong (bahasa jawa dari ngangkat) barang-barang berat yang dibungkus waring (karung). Jika pasar libur, tidak jarang para langgan (pembeli) tersebut biasanya membeli barang langsung ke rumah-rumah pedagang.Â
Selain itu, pemandangan lain terlihat dari kaum perempuan, mereka terbiasa melakukan aktifitas menjahit barang yang nantinya barang tersebut akan di dagang pada hari pasaran. Tangan-tangan kreatif biasanya muncul pada diri seorang perempuan, kelihaian dan kecakapannya dalam menjahit telah menjajikan mereka untuk aktif mencari rejeki bersaing secara sehat dengan para lelaki. Jika pun mereka yang tidak mengisi aktifitas dengan menjahit, hari-hari mereka pun di isi untuk berdagang di pasar-pasar lain.Â
Jika pasar tersebut jauh, mereka biasanya membentuk komunitas dan atas dasar persaudaraan, mereka berangkat bareng-bareng dengan mencarter mobil dan membawa bekal dagang mereka masing-masing. Demikianlah aktifitas tersebut dilakukan secara rutin tiap harinya selama se-minggu oleh kaum perempuan di Desa Tegalgubug.
Jadi, di Tegalgubug, para pedagang tidak hanya dipenuhi oleh kaum lelaki, bahkan dapat dikatakan mayoritas di pegang diisi oleh para perempuan yang menjadi tonggak kepemimpinan dalam mengurus perekonomian keluarga. Kendati pun para lelaki tetap melakukan kewajibannya untuk menafkahi keluarga. Namun bagi penulis, apa yang mereka (perempuan) lakukan tersebut sebagai bentuk profesi yang harus diemban dan hal tersebut sudah terjadi secara turun temurun, dalam hal ini tidak memandang lelaki dan perempuan.Â
Terlepas dari sumber-sumber normatif Islam yang berbicara demikian, jika ditilik dari segi sejarahnya - istri-istri Nabi pun telah mencerminkan sosok-sosok perempuan yang mampu bersaing dalam ranah publik seperti Siti Khadijah yang mampu mengembangkan bisinisnya bersama Rasulullah. Dan penulis menggarisbawahi di sini, kaum perempuan di Desa Tegalgubug yang aktif berbisnis dalam perekonomian cocok jika dikatakan dengan 'Kartini Masa Kini.’
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H