Saya prihatin lihat artis yang lagi nyaleg dibuat salah tingkah dan sedikit blo'on oleh presenter-presenter di televisi. Rasa-rasanya kok acara macam itu memang dibuat hanya untuk mempermalukan orang. Beberapa wawancara bahkan diedit sedemikian rupa untuk lebih menonjolkan sisi blo'on sang artis itu ketimbang sisi positifnya. Masyarakat yang menonton tayangan itu akhirnya percaya, artis memang tidak pantas jadi wakil rakyat dengan modal keblo'onan model itu. Parahnya lagi, banyak juga yang percaya, bahwa sang presenter "kelihatannya" lebih cerdas dibandingkan sang artis. Tetapi benarkah artis-artis itu sungguh blo'on dan presenternya lebih cerdas? Nanti dulu. Mari kita lihat konteks "pertarungannya" baik-baik. Dengan akal sehat. Pertama, presenter tentu menyiapkan program wawancara itu selama berhari-hari. Persiapan itu termasuk juga menyiapkan bermacam-macam materi pertanyaan secara tertulis. Pertanyaan yang sudah disusun presenter jelas tidak akan pernah "sebanding" dengan jawaban spontan narasumber. Ini seperti situasi dimana seorang siswa SD ikut ujian nasional, tanpa tahu soalnya sama sekali. Namanya juga rahasia negara. Guru aja mana boleh tahu. Edan ga? Emang faktanya begitu!!! Ujian nasional itu nyatanya hanya dijadikan ajang pembodohan siswa saja toh? Emang anda merasa adil, jika anak anda yang sudah persiapan matang dan sekolah bertahun-tahun dianggap bodoh oleh hasil jelek ujian nasional yang singkat itu? Kedua, program wawancara itu didukung sumber daya media yang cukup banyak. Coba hitung berapa jumlah crew pendukung dalam sebuah program televisi. Hitung saja jumlah orang mulai dari produser, redaktur, kameramen, bagian lightning, editor, tata rias, sampai bagian konsumsi. Bodoh kalau menganggap pertarungan 15 orang dianggap seimbang melawan 1 orang artis. Media akan selalu menang dalam urusan main keroyokan seperti ini. Redaktur misalnya, memiliki kemampuan memilih artis manapun yang dianggap bisa dieksploitasi kebodohan dan aib-aib sang artis. Kameramen bisa saja membantu presenter menyajikan ekspresi-ekspresi tolol sang artis, tetapi  di lain fihak menampilkan ekspresi terbaik presenter. Editor pun demikian, bisa saja digunakan untuk memotong jawaban-jawaban berkualitas sang artis, dan sebaliknya menampilkan sisi berkualitas sang presenter. Coba hadapkan program "mata najwa" dan Rizik Shihab dengan cara Najwa menghadapi Angel Lelga. Bisa bubar itu televisi ditendangi, diludahi dan dibredel anggota FPI. Sistem terlalu berat untuk dihadapi secara personal. Sistem haruslah melawan sistem. Itu baru adil. Ketiga, membandingkan intelektualitas antara artis yang berfikir dan berbicara spontan melawan presenter yang mewawancarainya dengan bantuan teks adalah sesuatu yang amat sangat naif. Artis terbiasa main dalam bidang sensualitas semacam film, sinetron, menari, menyanyi dan [sedikit] foto telanjang. Sedangkan presenter terbiasa bekerja dengan "suasana intelek" seperti menyusun pertanyaan secara detail, bicara dan bertanya secara terstruktur, atau memoderasi acara-acara talkshow. Saat diwawancara spontan, tentu saja "intelektualitas" sang artis akan terlihat seperti sebuah jawaban dari pola pemikiran yang acak abstrak atau acak konkret. Sebaliknya, sang presenter akan terlihat intelek karena berkomunikasi dengan mode sekuensial konkret. Susuai "rumus" dan proyeksi pertanyaan yang sudah disusun. Padahal, kalau anda mau berfikir lebih radikal [mengakar], justru artis itulah yang lebih intelek dibandingkan presenternya. Mengapa? Ya karena sang artis itu telah menggunakan daya-upaya otaknya untuk menjawab setiap pertanyaan sang presenter; sedangkan sang presenter bahkan tidak perlu menggunakan otaknya sama sekali untuk mengulang pertanyaan yang sudah disusun di tangannya. Perbandingan kualitas antara presenter dan narasumber yang seimbang harusnya dilihat dalam konteks yang lebih seimbang; narasumber tidak dilengkapi teks, presenter pun demikian. Lihatlah contoh tayangan-tayangan wawancara live [tanpa teks] antara stasiun TV dan Ahok misalnya. Anda akan melihat bukti, ternyata lebih banyak presenter yang lebih bodoh dan lebih blo'on daripada jumlah artis yang "kelihatan blo'on" di program "mata najwa." kalau tidak percaya hitung saja di youtube. Keempat, media memiliki kekuatan melakukan editing dan pemilihan aspek-aspek tertentu terhadap seluruh program yang disiarkannya. Narasumber tidak. Kebijakan editing dan penonjolan aspek-aspek tertentu ini sangat terkait dengan kepentingan media, pemilik modal dan iklan. Jadi, jangan heran kalau tayangan program wawancara ekslusif yang anda lihat secara tunda itu lebih banyak menunjukkan sisi blo'on dan emosionalitas narasumbernya. Di saat yang sama, media justru bebas menampilkan superioritasnya melalui presenter-presenter mereka. So, kalau mau lihat kapabilitas dan akseptabilitas seseorang dalam urusan politik, buat pertarungannya menjadi lebih adil. Taruh Angel Lelga di PPP atau Najwa Shihab di PKS misalnya. Pasang mereka jadi caleg di "dapil" yang sama. Tetapi kalau anda mau lihat kapabilitas dan akseptabilitas seorang presenter dibandingkan presenter lainnya, temukan Najwa Shihab dengan Uya Kuya dan Tukul Arwana. Biarkan AC Nielsen dengan ratingnya yang jadi juri. Terbukti kan, "kelasnya" Najwa Shihab masih jauh di bawah Uya Kuya dan Tukul….. Jadilah Pemirsa Yang Cerdas. Salam Dari Jogja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H