Oleh : Novia Triansari Â
Keyakinanku tentang kita meleset jauh dari yang kukira. Ternyata, aku patah bukan karena langkah kita tak lagi seirama, melainkan menghadapi perubahan-perubahanmu setelahnya. Benar adanya, tak ada hati yang akan baik-baik saja setelah berpisah, sekalipun raga telah berupaya.
Aku dan kau mungkin paham bagian ini bahwa kenyataan tidak lagi bersama hanya sekadar menghilangkan status, tetapi tidak dengan perasaanku yang sudah jauh terjerumus.
Maka, sekali ini saja, izinkan aku memintamu untuk mengingat kembali perihal kita? Bersediakah? Hei, tenang saja, aku tidak sedang memintamu untuk berpikir melanjutkan kita. Aku hanya ingin didampingimu melintasi masa lalu yang membuat jiwa cukup berduka.
Kau ingat , kali pertama bertukar pandangan, kesan pertama saat perkenalan, lalu terikat perasaan nyaman. Aku dan kau mulai saling terbuka, bercerita perihal apa saja, segala yang kaupuja, segala yang kusuka. Kau percaya padaku untuk dititipkan kisah masa lalumu, sedangkan aku percaya padamu untuk kujadikan harapanku.
Sesekali, kuajak kau ke perpustakaan, bertukar genre buku kesukaan, berdiskusi tentang hal remeh-temeh yang menjadikanku penasaran, yang membuatmu semakin nyaman. Orang-orang menyebut ini pendekatan. Jika dikenang, lucu, bukan?
Di lain waktu, aku bergurau perihal kejelasan hubungan. Kau tertawa dan menolak dengan banyak alasan. Ah, tawamu yang khas itu adalah satu dari sekian alasanku begitu mendambamu. Maka, aku terima keputusanmu dengan dalih bahwa perasaanmu akan berubah di kemudian hari.
Dan tepat. Aku memilikimu tidak lama setelah pernyataan itu. "Masa ini akan berjalan indah," pikirku. Saat itu, banyak kupu-kupu di dalam perutku, satu-persatu kembang mulai bermekaran di jantungku. Namun, waktu begitu mudah membunuh, harapan-harapanku seketika mati, karena layu. Kamu terkesan hanya singgah, sebab waktu tidak betah melihatku bahagia sepertinya. Kita dibuatnya singkat, aku sebagai pembuat onar yang membuat kesalahan telak membuatmu menyerah dan merasa penat. Lagi, aku hanya bisa menerima keputusanmu dan terus berdalih bahwa kau akan memaafkanku saban hari.
Kali ini, tidak tepat. Kau hilang, asing, dan mulai tak terjamah. Tanganku tak bisa lagi menggapaimu seperti sediakala. Apakah kesalahanku begitu membuatmu patah?
Kau kuminta menemaniku mengintip bagian-bagian menyenangkan agar bisa mengubur ingatan yang menyulitkanmu melangkah ke depan, sekalipun itu tanpaku. Itu sudah cukup untukku. Akan tetapi, syukur-syukur jika sembari mengenang, aku diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan. Kau tahu, bukan? Dunia ini terlalu menyebalkan jika harus kulalui tanpamu yang telanjur membuatku jatuh dalam kenyamanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H