Membaca beberapa artikel tentang bahasa Ngapak menggelitik saya sebagai orang Ngapak untuk ikut sedikit berkomentar. Terus terang sebagai orang yang berdialek ngapak, saya sangat menyayangkan orang ngapak yang merasa malu bila berbicara ngapak, apalagi sampai melarang anak-anaknya berbicara ngapak.
Padahal yang saya tahu dialek ngapak merupakan identitas diri yang suka tidak suka, mau tidak mau akan tetap kita bawa kemana dan dimanapun kita berada.
Kita boleh bahkan harus bisa berbahasa Indonesia, berbahasa Inggris, Arab, Mandarin dan sebagainya untuk menambah khazanah keilmuan kita dan juga memperluas jaringan, akan tetapi kita juga harus tetap melestarikan bahasa Ngapak, terutama pada anak cucu kita agar mereka tetap bangga dan bisa mempertahankan identitas ke-Ngapak-kannya.
Pengalaman saya sendiri ketika kuliah di sebuah perguruan tinggi di Jakarta dan bergaul dengan teman dari berbagai daerah justru mereka antusias dan suka sekali menggunakan dialek ngapak saat ngobrol dan nongkrong. Bahkan mereka banyak menggunakan dialek ngapak ketika menyapa dan bertemu saya. Kata-kata ngapak yang diucapkan oleh mereka malah terdengar menggelikan. Bisa dibayangkan ketika orang Riau ataupun Sulawesi berbicara ngapak. Dialek-dialek ngapak yang populer seperti "Gagal Maning-maning", "Kepriben Son", "Wis Mangan Durung".
Kalau orang lain saja bisa bangga dan berupaya keras mempelajari bahasa Nangak jadi kenapa kita yang terlahir sebagai orang Ngapak harus malu, justru kita harusnya bangga.
Salam NGAPAK untuk Indonesia...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H