Mohon tunggu...
El fathia raisya Qonitulhaq
El fathia raisya Qonitulhaq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah pribadi yang tertutup dan pendiam. Lebih banyak menghabiskan waktu dengan menulis sesuatu apa yang saya pikirkan dan lihat dari masalah sekitar. saya pecinta film aksi dengan sedikit bumbu kejahatan permainan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Formalhout

12 November 2024   17:05 Diperbarui: 12 November 2024   17:31 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar:https://www.pexels.com/search/formalhout%20star/

            “Kau tahu, mungkin di luar aku adalah psikiatermu, namun disini kau bisa menganggapku sebagai temanmu, tidak perlu merasa takut, aku mendengar semuanya,” ujar Alcestis. Helma tidak menanggapi sama sekali, tatapannya tetap pada ke sorot cahaya yang menembus jendela.  Kemudian sesi ini berakhir begitu saja tanpa ada respon dari Helma, bahkan berlanjut pada sesi-sesi selanjutnya, tidak ada pembicaraan, hanya keheningan yang terasa menyesakkan bagiku. Aku hampir putus asa dan berniat menyerahkan Helma terhadap psikiater lain, namun aku ingin menyelamatkannya.

            “Jika kau ingin menyelamatkannya, jangan paksa ia untuk menceritakan segalanya padamu Alcestis, buatlah semua mengalir seperti air dan jadilah satu tanpa harus terbawa arus, itulah yang dulu aku lakukan ketika mencoba menolongmu dari depresimu,” ujar Logan. Seperti biasa ia selalu mengatakan sesuatu yang tidak dapat aku mengerti. Kemudian aku berangkat untuk melakukan sesi terapi dengan Helma.

            Selama menunggu Helma, aku memikirkan ucapan Logan. Aku mencoba memahaminya, sampai suara pintu terbuka membuyarkan lamunanku, Helma datang dan langsung duduk, seperti biasa sorot matanya selalu kosong dan tidak ada senyum yang menghias wajahnya.

Aku menghela nafas pelan, kemudian berkata,”Aku senang kau baik-baik saja, kau tampak sehat dari biasanya.” Tidak ada respon dari Helma.

“Jika kau tidak ingin menceritakan apapun, tidak apa-apa, mungkin aku yang akan lebih banyak bercerita disini,” ujarku dengan menatap pohon tua di luar.

“Apa kau tahu tentang Formalhout, bintang musim gugur kesepian yang bahkan orang tidak tahu, mungkin ia akan begitu kesepian dan sedih, karena tidak ada siapapun disisinya.”

“Formalhout tidak akan kesepian, dia tidak membutuhkan orang lain untuk tetap bersinar, jadi bintang itu tidak akan merasa kesepian,” celetuk Helma dengan sorot mata yang perlahan menatapku. Aku terkejut dengan apa yang aku dengar, apa gadis itu baru saja bicara, aku merasa senang, kucoba untuk tidak membuatnya terlalu jelas. Aku dan Helma terus saling berbicara, meski pembicaraan kami hanya tentang seputar bintang Formalhout. Tapi bagiku itu adalah suatu kemajuan baginya. Satu fakta yang kutahu dari sesi ini adalah Helma menyukai perbintangan.

Pada sesi selanjutnya, aku membeli satu set buku mengenai bintang luar angkasa. Aku berniat membacanya bersama Helma. Setelah sampai disana, aku pun bertemu Helma di ruang isolasi, ia datang lebih awal dariku. Dari semenjak pembicaraan Formalhout, sesiku dengan Helma tidak berakhir dengan keheningan, sedikit demi sedikit ia mulai menceritakan tentang banyak hal meskipun itu seputar bintang luar angkasa.

Helma terpaku pada pergelangan tanganku, kemudian aku menutupi tanganku dengan mengancingkan kerah lengan. Lalu Helma berkata, “Kupikir ketika aku menyakiti tubuhku, keadaan akan berubah, namun tidak ada yang berubah, hanya rasa nyaman sesaat.”

Aku tidak menyangka Helma akan berkata seperti itu, padahal dari tadi dia hanya berbicara soal bintang. “Aku mengerti, pasti menyakitkan tetap bertahan disaat kau ingin mengakhiri segalanya.”

“Apa yang membuatmu menjadi seperti itu, maksudku tentang luka di pergelangan tanganmu,” tanya Helma. Sebenarnya ini ranah pribadiku, jika orang lain yang bertanya, aku tidak akan menjawabnya, namun ini Helma, mungkin ini akan sedikit membantunya untuk mencari alasan untuk tetap hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun