Seorang wanita datang sambil membawa nampan berisi berbagai macam obat, pandangan Helma tetap pada arah pohon tua dekat taman. Kemudian psikiater itu menuangkan segelas air dan berjalan ke Helma, aroma buah peach mix tercium. psikiater lalu memberikan obat merah kepada Helma. Tanpa menanggapi, Helma pun langsung menenggak habis obat tersebut. psikiater itu bernama Alcestis, nama menyeramkan bagi Helma, mungkin orang tuanya sedikit eksentrik karena menamai putrinya dari nama tokoh utama sebuah drama Yunani kuno, yang pada akhir cerita tokoh utamanya mengabdi kepada kekosongan menyedihkan.
“Karena kau berhasil menjadi gadis baik hari ini, aku akan menceritakan sebuah cerita menarik, yaitu Hanzel dan Gretel,”ujar Alcestis tampak antusias.
“Maaf mengecewakanmu, tapi aku sudah tahu cerita itu.” Mendengar ucapan Helma, raut wajah Alcestis yang semula ceria berubah menjadi masam, hal itu tetap terlihat jelas meski ia menutupinya dengan cara tersenyum. Kemudian ia duduk disamping ranjang Helma sembari memperhatikan pasiennya itu. Tidak ada pembicaraan, hanya ada keheningan di antara mereka berdua.
“Aku senang kau bisa keluar dari tempat sesak ini bulan depan, mungkin ini terdengar tidak profesional, namun kau harus melihat dunia yang sebenarnya,” ujar Alcestis. Helma terdiam dan tetap terpaku pada buku bacaannya.
“Saat pertama kali Galiard membawaku padamu, kau begitu rapuh dan tidak terjangkau, sampai aku pikir, mungkin ini adalah akhir dari karirku sebagai psikiater.”
“Dan, satu-satunya hal yang menjangkaumu adalah Formalhout, buku luar angkasa kusam yang sedang kau baca saat ini.” Perlahan sorot mata Helma melirik ke Alcestis,
Kemudian ia berkata,”Aku akan sering mengunjungimu, begitu aku keluar,” Helma menyunggingkan senyum, mata sayunya yang menenangkan, membuat Alcestis merasa Bahagia saat melihat pasiennya dapat kembali menjalani aktivitasnya.
Satu tahun yang lalu (Point Of View Alcestis)
Di ruangan isolasi dengan satu jendela. Aku menunggu dengan cemas, ini pekerjaan pertamaku di unit rumah sakit jiwa San Diego. Kemudian datanglah Helma, seorang pasien yang hari ini akan aku terapi. Pakaiannya lusuh, tatapannya kosong, ia seorang pasien dengan gangguan jiwa post traumatic disorder. Berdasarkan catatan, ia korban pelecehan dari Ayahnya dan percobaan pembunuhan dari Ibunya. Ketika membacanya aku tidak bisa membayangkan betapa besarnya rasa trauma yang ia miliki. Pada sesi pertama aku hanya akan melakukan pendekatan perlahan, mengingat dia adalah pasien yang memiliki kelainan jiwa serius dengan catatan penyerangan terhadap pasien lain sebanyak 10 kali.
Aku menanyai beberapa pertanyaan sederhana, seperti hobi, makanan favorit, cuaca hari ini. Namun dari semua pertanyaan itu tidak ada satu pun yang membuat Helma menatapku. Lalu keheningan pun tidak dapat terhindarkan.