Aku suka melihat ibu menggelung rambutnya yang panjang. Membentuk cepol bagus lalu menyematnya dengan benda runcing terbuat dari kulit penyu yang salah satu ujungnya berhiaskan ukiran indah. Ketika kutanyakan benda apa itu, ibu menjawab,"ini namanya tusuk konde."
Usia ibu hampir setengah abad. Tapi rambut ibu masih lebat dan indah. Meski mulai banyak ditumbuhi uban, tapi sama sekali tak mengurangi sisa-sisa kecantikannya.
Aku sangat mengagumi ibu.
Suatu siang ibu memanggilku. Mengajakku duduk-duduk mengobrol di teras rumah.Â
"Srin, sudah waktunya benda ini kuwariskan padamu," ujar ibu seraya melepas tusuk konde dari cepol rambutnya. Seketika rambut ibu yang panjang jatuh tergerai. Meriap-riap ditiup angin.
Aku tak segera meresponnya. Mataku hanya terpaku pada benda bagus di telapak tangan ibu.
"Kenapa?" ibu mengangkat alisnya. Malu-malu aku meraba kepalaku.
"Oh, karena rambutmu yang masih pendek ini ya?" ibu ikut-ikutan meraba kepalaku.Â
"Simpan saja. Suatu saat kamu pasti membutuhkannya."Â
***
Srintil, itulah namaku. Terdengar aneh dan lucu, bukan? Tapi bukan karena nama itu lantas aku menjadi terkenal di desaku.Â