Salah satu satu dari tiga gadis kembar itu adalah kekasihku. Dan ia memiliki nama yang unik, Rheinkarnasi. Nama itu ternyata dipakai juga oleh kedua saudaranya. Entah mengapa demikian. Untuk membedakan dari kedua saudaranya, aku memanggilnya Rhein. Rhein terlahir paling dulu. Jadi dengan begitu ia dianggap sebagai anak yang paling bungsu. Â Â
Tentang kecantikan Rhein dan kedua saudara kembarnya itu, teramat sulit untuk digambarkan. Bintang kejora kalah jauh dibanding dengan binar mata mereka. Rona langit di waktu senja kalah ranum dibanding pipi-pipi halus mereka. Pun mentari di pagi hari, tiada bisa menandingi rekah senyum ketiganya.
Menyoal kembar identik mereka, jujur aku kerap terkecoh. Setiap kali aku datang berkunjung ke rumah Rhein, dan salah satu dari saudaranya yang membukakan pintu, aku pasti keliru dan selalu menganggap yang berdiri di hadapanku itu adalah Rhein.
"Rhein, bunga ini untukmu..." aku menyodorkan setangkai mawar dengan senyum suka cita. Tapi wajah di depanku mendadak tersipu.
"Maaf aku bukan Rhein...."
Kalau sudah begitu baru aku menyadari kesalahanku, seharusnya aku menanyakan dulu, apakah aku sedang berhadapan dengan Rhein atau bukan.
Seperti sore itu, aku sempat tertegun ketika melihat ketiganya berdiri di depan pintu. Mereka tampil mengenakan gaun bermodel sama. Rambut pun diikat serupa.
"Rhein...yang mana ya?" tanyaku gagap seraya menatap ketiga gadis kembar itu secara bergantian. Mereka saling berpandangan. Lalu tersenyum, bersamaan. Tentu saja hal itu semakin membuatku bingung.
Setelah menunggu beberapa menit, satu di antara ketiga gadis kembar itu maju dan menyentuh punggung tanganku. Barulah aku bernapas lega. Ia Rhein. Kekasihku. Rhein selalu melakukannya setiap kali kami bertemu.
"Kami pamit pergi, ya. Daah...selamat bersenang-senang!" kedua saudara kembar Rhein tertawa berderai lalu berlalu meninggalkan kami.
"Maafkan, kami selalu membuatmu terlihat begitu..." Rhein tidak melanjutkan kalimatnya. ia menatapku geli.