Kutemukan sepucuk surat, pagi ini, untukku di atas bantal. Surat itu tak bernama juga tak beralamat. Kuberanikan diri membacanya. Sesaat aku tertegun. Alangkah indah rangkaian kata yang tertuang di dalamnya.
Inginkah kamu mengetahui apa isi surat itu? Baiklah, dengarkan, aku akan membacakan untukmu.
Â
Dear, Dearista yang manis....
Senyum pagi ini masih milikmu. Senyum yang dititip mentari pada pucuk-pucuk daun cemara.
Baik selalu keadaanmu, Dear. Karena ini hari baru. Hari yang seharusnya tidak terbuang percuma.
Hadapi segala kisah dengan berani. Jangan pernah berhenti, apalagi kembali. Karena tanjakan dan tikungan selalu ada. Di mana pun itu. Di setiap kaki yang masih menginjak bumii. Segala uji dan coba usah surutkan langkahmu untuk maju.
Dearista, jika pagi mengajarimu untuk mengerti, mengapa tak kau jelang siang seperti yang ia lakukan?
Hangatnya sungguh berarti. Seperti itulah keikhlasan.
Jika siang meneladanimu tentang pengorbanan, mengapa tak kau songsong senja dengan harapan?
Teriknya sungguh bermakna. Seperti itulah semestinya kehidupan.