"Mbak Lilik, sudah habis berapa Suduk selama nulis di Kompasiana?" tanya Mas Difa D'kils secara tiba-tiba.
'"Ha, Suduk? Apa-an itu, Mas?" saya menatap Mas Difa dengan pendangan heran.
"Suduk itu sesuatu yang istimewa Mbak. Bisa membuat kita gembira, juga sedih," Mas Difa balas menatap saya.
"Wah, jadi penasaran nih. Bagaimana bentuk Suduk itu, ya?" saya masih belum mudeng. Mas Difa menarik napas panjang. Matanya berkejap-kejap sejenak.
"Coba Mbak Lilik tebak!"
"Suduk itu, mm, seampuh keris milik Mbah Jati, atau setajam belati punya Mbak Desol," saya menyahut. Mas Difa menggeleng.
"Mungkin segarang tulisan Mbak Mike Reyssent tentang politik?" kembali saya menebak.
"Bukan!" Mas Difa menggeleng lagi.
"Saya nyerah, deh, Mas."
"Mbak Lilik, Suduk itu, pas kita nulis biasa-biasa aja di K ini, eh, sama admin di ganjar Hlt. Tapi pas nulis serius, malah dicuekin..." Mas Difa prembik-prembik.
"Oh, kalo itu, sih, saya juga pernah Mas..." ujar saya sembari menyodorkan tisu dan boneka Barbie yang sejak tadi dicari-cari oleh Mas Difa.