Kau tahu? Semalam saat aku terpekur memikirkanmu di ambang jendela, kulihat rembulan terpeleset jatuh dari angkasa. Ia terjerembab ke dalam keranjang yang tergeletak di kebun samping rumahku.
"Apakah kau terluka?" tanyaku was-was. Sungguh, aku khawatir rembulan bulat yang indah itu mengalami cedera.
"Kurasa tidak. Hanya memar sedikit," rembulan menjawab sembari meringis. Memamerkan sederetan giginya yang putih.Â
"Syukurlah," aku menarik napas lega.
Rembulan masih menggelinjang dalam keranjang. Cahayanya yang terang sedikit menyilaukan mata.Â
"Apakah kau baik-baik saja?" rembulan berbalik menanyaiku. Aku terdiam.
"Jangan menahan air mata. Jika ingin menangis, menangis saja," lanjut rembulan. Cahayanya meredup. Ia menatapku berlama-lama. Seolah hendak menelanjangi perasaanku. Tak kuasa aku membalas tatapannya. Dadaku menyesak.
"Kau masih menunggunya?" kembali rembulan bertanya. Lirih. Aku mengangguk.
"Kau sungguh bodoh. Teramat sangat bodoh. Kau tahu apa yang kau lakukan itu sia-sia, tapi kau tetap saja melakukannya," rembulan bergumam sedih.
"Ya, aku tahu. Tapi...."
"Lupakan dia! Jangan buang waktumu hanya untuk memikirkan laki-laki yang belum tentu memikirkanmu."