Sejak berabad-abad lalu, aku, Laila dan kau--- Qais, dinobatkan sebagai sepasang kekasih yang abadi. Kisah kita dituturkan sedemikian romantis oleh para sufi hingga melegenda di sepanjang putaran masa.
Dalam kisah itu, aku, adalah putri seorang bangsawan. Sedang, kau, adalah seorang pemuda tampan, cerdas lagi berjiwa seni. Kita ditakdirkan bertemu untuk saling mencintai. Cinta yang indah namun menguras banyak air mata.
Tak lekang dalam ingatan, bagaimana kita saling melempar kertas, bertukar gores syair di dalam kelas. Saat teman-teman sibuk belajar, kita berdua sibuk meredakan amuk asmara yang bergelora di sepanjang aliran darah.
Sungguh, Qaisku, hubungan yang pada masa itu masih dianggap tabu, telah aku terjang. Cinta benar-benar telah membutakan mataku, menulikan kedua cuping telingaku. Aku tidak peduli walau kedua orang tuaku amat murka terhadap kelakuanku.
Ah, Qais, tak perlu kukatakan padamu, bagaimana perihnya perasaanku kala itu. Kala cinta terhalangi. Kala rindu harus terkebiri, terpenjara oleh keadaan.
Perasaan cinta ini, Qais, bagai jamur yang tumbuh di musim semi. Bemekaran, indah. Meski takdir akhirnya berkhianat, menikung dengan kejam melalui keputusan kedua orang tuaku. Meski begitu semua tiada mampu menyurutkan rasaku padamu. Rasa cinta seorang Laila yang sungguh---sudah sedemikian menggila.
Sebenarnya akulah yang majnun itu, Qais. Bukan dirimu.
Qais, kuharap engkau tetaplah Qaisku. Bukan Qais seperti yang dituturkan oleh para sufi itu. Duh, mereka memang sudah keterlaluan dalam menggambarkan sosok dirimu. Dalam legenda kisah, kau dituturkan sebagai pemuda lemah, yang mengalah pada keadaan dan akhirnya mati mengenaskan membawa cinta yang terpendam.
Tidak, Qais, kau bukan pemuda seperti itu.
“Laila, Qais kini majnun!” Kata-kata itu! Kudengar dari bibir mereka. Bibir orang-orang yang mengaku pernah beberapa kali bertemu denganmu. “Kasihan sekali, ia memilih menjadi seorang pengembara dan tinggal di gua-gua laiknya manusia purba.”
Qais, sedih sekali mendengar kabar itu. Aku tak ingin hal itu terjadi padamu. Aku masih ingin menikmati syair-syairmu yang indah. Syair yang kau gores di atas berlembar dedaunan, yang bercerita tentang cinta kasih, kebahagiaan, juga kelapangan hati. Syair yang sengaja kau letakkan di atas permukaan sungai, agar terhanyut menujuku.