Adalah dikau, kekasih itu, yang mengaku telah lama berdiri---di tapal batas. "Batas keraguan," ucapmu dengan wajah berselimut resah.
Adalah aku, kekasih dari sang kekasih itu yang berusaha tuk mematah ragu, ragu-ragu tentang sebuah cinta---sebisaku.
"Kita telah sampai," katamu. "Belum, kita baru saja mulai," sahutku dengan napas tersengal satu-satu.
"Aku lelah," kekasih memaling wajah.Â
"jangan! Jangan lukai hati dengan kata-kata seperti itu," aku menggerak bibir tanpa suara.
Lalu dikau---kekasih itu menatapku, memastikan tentang kesungguhan yang memancar dari binar mataku.Â
"Aku merah." Kekasih bergumam kelu.Â
"Aku putih," kupatahkan lagi ragu yang menyeruak kegamangan hati. Dalam satu hela napas kuulur jemari, "ambil semua, untukmu. Jangan sisakan walau seujung surai. Hidupku, matiku...aku pasrah."
Kekasihku, ia ngin menyela, tapi tiada kuasa. Walau sesungguhnya ia nyaris bisa.
Dan ketika tapal keraguan itu kembali menghujamnya tanpa jeda, ia---kekasihku, hanya mampu berdiri menatap senja. Senja yang mencuri  jiwa raga dan tiada pernah lagi sudi mengembalikanku---padanya.
***