Masih kuingat, bagaimana ibu selalu melarangku ke luar rumah ketika hari menjelang surup. Ada Batara Kala lewat, katanya. Ketika kutanya siapa Batara Kala itu, ibu malah meletakkan ujung jarinya di atas bibirku.
"Ssst, kita tidak boleh membicarakannya. Pamali."
Meski tidak paham dengan penjelasan ibu, toh aku tetap mematuhinya. Apalagi aku tinggal di sebuah desa terpencil yang masyarakatnya masih memegang teguh tradisi leluhur. Banyak aturan dan tata cara tidak tertulis yang mesti ditaati.
Dan aku semakin merasakan kungkungan tradisi itu, ketika tiba masanya harus menikah. Tradisi perjodohan.
"Bagaimana jika aku tidak mencintai suamiku?" aku menatap ibu. Setengah memprotes.
"Cinta akan datang dengan sendirinya, Asih. Seperti pernikahan ayah dan ibu. Dulu kami tidak saling mengenal. Buktinya kami bisa mencintai dan langgeng hingga sekarang," sahut ibu ringan.
"Zaman sudah berubah, Bu."
"Tapi tradisi harus tetap dijalankan."
Aku selalu tak berkutik menghadapi ibu. Meski dalam hati menentang, aku tak ingin dicap sebagai anak durhaka.
Sampai perasaan memberontak itu datang tak bisa kucegah.
Aku jatuh cinta pada Haris, seorang pemuda yang tengah mengadakan penyuluhan di desa kami. Haris bersama rombongannya, para mahasiswa jurusan pertanian kebetulan menginap di kediaman keluargaku.Â