Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Maret yang Hilang

22 Maret 2017   15:08 Diperbarui: 22 Maret 2017   15:13 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pinterest Margarita Georgiadis

Perempuan itu menatap kalender yang terpampang di dinding. Ini hari Selasa, penanggalan menunjukkan angka dua puluh delapan. Angka yang menandai berakhirnya bulan Februari di tahun kabisat.

Besok sudah memasuki awal bulan Maret. 

Tiba-tiba saja dada perempuan itu berdegup. Wajahnya yang tirus bersemu dadu. Ah, ada apa gerangan di bulan Maret? Ia menyungging senyuman, berusaha menutupi perasaannya yang membuncah.

Ia tengah bahagia. Perempuan itu tengah dilanda bahagia.

Huft, ia mendesah. Akhirnya sampai juga ia di penghujung penantian panjang. Penantian yang menguras cukup banyak pikiran. Betapa tidak, selama berbulan-bulan ia mesti melewati hari dengan perasaan rindu dan harap-harap cemas tak menentu. 

Dibukanya jendela kamar lebar-lebar. Dibiarkannya sinar mentari yang hangat menyentuh lembut kedua pipinya. 

Perlahan ia memejamkan mata.

Kicau kenari membuatnya membuka mata lagi. Gegas ia melangkah meninggalkan kamar menuju halaman. Ditemuinya sebatang tananam cabe yang tumbuh subur di dekat pagar. Diamatinya tanaman itu dalam-dalam. Kembali ia tersenyum. Senyum cantik yang jarang sekali ia perlihatkan. 

Tanaman cabe itu tengah berbuah. Lumayan lebat. Sebagian buahnya ada yang mulai ranum.

Perempuan itu meraih sapu lidi yang tersandar pada dinding pagar. Ia ingin membersihkan daun-daun kering yang jatuh berserak mengotori halaman. Sreg...sreg...sreg...bunyi ujung sapu bergesek dengan tanah. Setumpuk sampah berhasil ia kumpulkan. Lalu dengan sekali angkut tumpukan sampah itu berpindah masuk ke dalam bak pembuangan.

Peluh membasahi keningnya yang licin. Wajahnya memerah. Jelita. Seperti wulan ndadari, begitu kata kekasihnya. Bagaikan fase bulan purnama. Sungguh, suatu pujian yang teramat memabukkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun