Aku selalu melihatnya hampir setiap sore di kisaran pukul 4. Ia berjalan tergesa di depan toko tembikarku. Meski hanya sekilas, aku bisa menggambarkan sosoknya dengan jelas. Postur tubuhnya tinggi, wajahnya tirus. Ia mengenakan jaket semacam raincoat berwarna biru. Sebuah ransel berwarna hitam tersampir nyaman pada punggungnya.
Tujuh hari dalam seminggu aku melihatnya. Lelaki dengan jaket raincoat itu.
Suatu sore, menjelang akhir pekan, tidak seperti biasa jalanan di depan toko tembikarku yang biasanya lengang, berubah bingar. Beberapa orang berhamburan. Sebagian tampak berlarian seolah tengah mengejar sesuatu.
Ada apa ini? Aku mengintip dari balik jendela yang tirainya terbuka lebar.
Ketika mataku asyik terpaku pada orang-orang yang berlalu lalang itu, tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.
"Tolong aku! Selamatkan aku!"Â
Aku menoleh dan terkejut bukan kepalang. Lelaki itu! Lelaki yang selalu berjalan tergesa di kisaran pukul 4, tahu-tahu sudah berdiri di belakangku.
"Please, tolong aku...orang-orang itu mengejarku," kembali ia meratap. Wajahnya yang tirus memucat pasi.
Entah sihir apa yang menguasaiku. Tiba-tiba saja aku sudah menarik lengannya. Membawanya menuju pojok ruangan di mana guci-guci raksasa daganganku terpajang. Kubuka salah satu guci dan menyuruh lelaki asing itu segera masuk ke dalamnya.
Aku kembali ke ruang depan. Mengunci pintu sembari mengintip jalanan melalui kaca jendela.
Beberapa petugas berseragam tampak masih mondar-mandir di depan toko.