Asih  memeluk tubuhku yang sudah mendingin. Air matanya meruah membasahi gaunku.
"Nein, bangunlah," isaknya seraya mengguncang tubuhku. Aku kasihan melihatnya. Sekaligus sedih. Kenapa hanya Asih yang merasa kehilangan atas 'kepergian'ku?
"Ikhlaskan saja. Ia hanya ingin pulang," ujar dokter yang berdiri di samping tempat tidurku. Asih seolah tak mendengarnya. Ia masih saja memelukku. Bahkan lebih erat dari sebelumnya.
Aku menunggu. Menunggu keputusan dokter kapan jasadku boleh dibawa pulang. Pulang? Bukankah saat ini aku sedang dalam perjalanan menuju ke sana?
"Nein, kamu tidak boleh mati," lagi-lagi Asih terisak. Entah mengapa mendengar ucapan sahabatku itu aku ingin tertawa. Apa ada yang salah dengan kematian? Bukankah mati itu pasti bagi mahluk yang hidup dan bernyawa?
"Kami sudah menyiapkan mobil ambulan. Jasad Nona Neinra sudah bisa dibawa pulang." Akhirnya dokter menyampaikan juga keputusan itu. Dua orang perawat laki-laki perlahan membopong tubuhku yang sudah kaku. Memasukkannya ke dalam mobil jenazah yang sejak tadi menungguku.
Sepanjang perjalanan sirine ambulan meraung mengalahkan isak tangis Asih. Ya, Asih tak juga lelah berurai air mata. Aku ingin mengatakan padanya, tak usah ia sesedih itu. Seperti kata dokter, aku hanya ingin pulang. Aku sudah lelah dengan sakitku.
Tapi suaraku tak kunjung keluar. Bibirku terkunci rapat.
***
Jalan tak lagi mulus. Bergelombang. Sesekali tubuhku terguncang. Bergeser ke kanan. Kadang juga ke kiri. Asih tak menyadari itu.
"Bagaimana? Kau sudah siap  untuk pulang?" sebuah suara mengagetkanku. Seorang laki-laki berjubah putih, berjenggot panjang duduk di samping Asih yang terkantuk-kantuk karena letih.