Dermaga masih menunggu kekasih mungilnya. Kekasih yang memiliki dua warna mata berbeda. Satu coklat dan satu biru.Â
Ah, tak ada yang memiliki mata seindah itu kecuali dia. Dermaga menamakan kekasihnya itu Amoret, yang berarti cinta.Â
Amoret suka datang menjelang senja. Menjenguknya sembari membawa sekeranjang buah pulm. Buah yang dipetiknya dari kebun sendiri.
Seperti senja itu, Amoret berlari-lari kecil menghampirinya. Satu tangan menenteng keranjang, dan satu tangan yang lain menyibakkan rambutnya yang meriap-riap diterpa angin.Â
Dermaga tersenyum menyambut kekasihnya itu.
Amoret duduk di ujung Dermaga. Kakinya menggantung nyaris menyentuh air. Keranjang buah diletakkannya begitu saja di sisinya. Terguling. Selalu begitu. Satu dua buah pulm menggelinding.Â
Bunyi 'kres- kres' dari mulut Dermaga membuat Amoret tertawa.Â
"Kau boleh menghabiskannya. Besok akan kubawakan lagi untukmu," ujar gadis itu riang seraya menggoyang-goyangkan kakinya yang mungil berusaha menyentuh air.Â
Senja kian memerah. Matahari hanya terlihat ujung kepalanya saja.Â
Amoret berdiri. Ia meraih keranjangnya yang sudah kosong.
"Waktunya pulang..." ia berkata pada Dermaga.Â