Selalu. Cermin tua berbentuk oval dengan ukiran warna perak di sepanjang tepinya itu bergerak-gerak memanggilku. Sebenarnya aku enggan menghampirinya. Tapi ia tak akan berhenti menggelinjang sebelum aku datang.Â
"Hentikan! Ini sudah malam. Jangan mengumbar amarahmu seperti itu," aku menyeret langkahku dengan kesal.
"Kau mulai terlihat lamban," ia mengejekku.
"Yang benar, aku mulai terlihat tua," sergahku. Cermin oval itu tertawa. Aku mendekatkan wajahku. Memagut diri berlama-lama di hadapannya. Mula-mula muncul bayanganku. Hanya satu. Tapi beberapa menit kemudian wajahku terbelah. Menjadi dua.
"Hh, kau selalu memunculkan mereka. Dengan dua ekspresi yang berbeda," aku mengeluh.Â
"Bukankah itu sebenar-benarnya dirimu? Mm, maksudku...."
"Maksudmu aku ini munafik? Kerap menyembunyikan luka dalam balutan senyum? Kau tak usah sungkan mengatakannya," aku menatap cermin oval itu tak berkedip. Dua bayanganku pun ikut-ikutan menatapku tak berkedip.
"Hei, kalian berdua, jangan latah!" aku melebarkan mata. Kedua bayanganku seolah tak mendengar. Mereka juga melebarkan mata.
Aku ditakdirkan menjadi perempuan yang pasrah digauli waktu dan malam. Dalam rahimku telah tumbuh janin kata-kata akibat cumbu yang membara. Suatu ketika pernah kulahirkan seorang kakak yang bermata waktu, berhidung waktu, dan bertelinga waktu....
"Apakah itu puisi?" satu wajah yang berekspresi sedih berbisik padaku. Aku mengangguk.
"Tak perlu semelow itu. Nikmati saja hidupmu. Bersenang-senanglah selagi kamu bisa. Toh di luar sana tak seorangpun peduli, apakah kamu terluka atau bahagia," satu wajah yang berparas sumringah menimpali.