Tergeletak di sudut gudang dengan wajah berdebu dan dipenuhi goresan, juga cat yang mulai terkelupas, membuat senyum yang dulu menawan menjadi agak menakutkan. Tak ada lagi yang peduli padanya. Ia merasa begitu tersisih, topeng itu, ia merasa sangat tidak berguna. Dalam kesendirian angannya terbang ke masa lalu, ke masa jaya yang pernah dialaminya. Terbayang sosok Diman, lelaki yang menjadi tuhannya, yang telah menciptakannya dengan penuh suka cita. Juga Surti, gadis centil lincah yang senantiasa bersamanya saat menari di atas panggung.
“Topeng yang cantik, Ayah!” suatu siang, sepulang sekolah Surti kecil pernah berseru, takjub, menyaksikan ayahnya yang tengah asyik menggosok permukaan wajahnya di teras depan rumah. Diman yang penyabar mengulum senyum. Membiarkan putrinya yang berusia tujuh tahun itu mencium pipinya berulang-ulang.
“Kapan Surti boleh mencoba topeng cantik ini, Ayah?” tangan mungil Surti menyentuh wajahnya yang setengah jadi.
“Kamu sudah bisa memakai genduk ini pada pagelaran seni di sekolahmu, bulan depan.” Diman menyentuhkan topeng ke arah pipi Surti yang bulat. Mata Surti berbinar. Kemudian dengan kemayu bocah centil itu berlari menghilang, masuk ke dalam rumah.
Diman memandangi punggung putrinya dengan senyum masih mengembang. Dada lelaki itu membuncah menahan perasaannya, antara bangga dan haru. Anak semata wayangnya itu, begitu lincah dan menggemaskan. Mengingatkannya pada mendiang istrinya, Marni, yang telah mendahuluinya berpulang beberapa tahun silam. Andai Marni masih hidup, ia tentu ikut senang melihat perkembangan Surti. Gadis kecilnya itu telah mewarisi bakat menari darinya. Ia, sebagai ayah sekaligus pelatih, tidak setengah-setengah membimbing Surti. Diajarinya Surti tehnik-tehnik menari yang baik. Cara berdiri yang sigeg, nyeblak sampur dengan manis, juga bagaimana menjaga kelenturan tubuh agar terlihat gemulai saat berada di atas panggung.
Diman boleh berbangga hati. Usahanya membuahkan hasil. Kian hari Surti kian piawai membawakan tarian yang diajarkannya. Diman menaruh harapan besar pada bocah kecil kesayangannya itu. Ia mengggadang-gadang, kelak Surtilah yang bakal meneruskan impiannya, melestarikan dan mengangkat seni tari Topeng Malangan yang belakangan ini semakin tersisih.
Waktu terus beranjak. Surti tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik dan menawan. Ia semakin eksis di dunia yang membesarkannya. Bersama topeng kesayangan buah karya ayahnya sendiri, Surti telah menghabiskan sebagian waktunya di atas panggung.
Sampai suatu waktu Surti bertemu dengan Pramono, pria berumur yang mengaku sebagai pengusaha di bidang properti asal Jakarta. Dan pria itu berhasil mencuri hati Surti yang lugu.
Surti tidak menolak ketika Pramono memintanya untuk menemani berkeliling dari satu kota ke kota lainnya. Bahkan ketika Pramono memintanya untuk berhenti menjadi penari panggung pun, Surti dengan senang hati melakukannya.
Cinta memang selalu begitu. Selalu seperti itu. Mampu memperbudak perasaan tuannya.
“Jangan grusa-grusu meninggalkan dunia tari yang sudah kamu rintis dengan susah payah, Nduk.” Diman mencoba mengingatkan. Tapi Surti tidak menggubris ucapan ayahnya. Ia seolah telah kehilangan telinga.