Bing, ia sibuk merentang kain satin berwarna gading di atas meja. Lalu dengan cekatan tangannya mulai menggunting kain satin itu mengikuti pola yang sudah digambarnya. Ia terlihat begitu asyik.
Sementara aku duduk di hadapannya, mengawasinya dengan penuh takjub.
“Bing, kau seharusnya tidak terlalu memanjakanku,” ujarku dengan wajah merona, semirip buah plum yang ranum.
“Hmm...” Bing bergumam tanpa menghentikan gerakan tangannya. Hanya kepalanya saja yang dimiringkan sedikit.
“Bing, aku tidak pantas menerima perlakuanmu yang...” aku tidak melanjutkan kalimatku karena tahu-tahu Bing mendaratkan satu kecupan pada keningku.
“Diamlah, Honey. Aku tidak suka mendengar kata-kata seperti itu lagi. Dan biarkan aku menyelesaikan gaun untukmu ini tanpa gangguan keluhan apa pun.”
Aku menurut. Kubiarkan Bing meneruskan pekerjaannya, membuatkanku gaun indah seperti milik Cinderella.
***
Siang yang terik sama sekali tidak berpengaruh bagi Bing. Ia tetap terlihat sibuk memasukkan kayu bakar ke dalam perapian dan menjaga nyalanya agar tetap stabil. Butiran peluh berjatuhan membasahi wajahnya yang tirus. Sesekali ia menyeka wajahnya yang mengilap dengan punggung tangannya.
Tentang halnya aku, tetap duduk manis di atas kursi, mengawasinya. Tak dapat kupungkiri, melihat Bing dalam keadaan demikian, bermandi peluh, membuat rasa kagumku padanya kian bertambah. Ia terlihat begitu tampan dan natural.
Bing berjalan bolak-balik dari perapian menuju meja. Di tangannya tergenggam sebatang besi yang ujungnya digunakan untuk memutar sesuatu. Sesuatu yang bening dan panas. Oh, Bing, kiranya ia tengah membuatkan aku sepasang sepatu kaca!