Ayah selalu menarik tanganku setiap kali aku berdiri berlama-lama menatap deretan rumah yang berjejer rapi itu. Deretan rumah yang letaknya agak tersembunyi tak jauh dari kampung tempat tinggal kami. Rumah-rumah yang modelnya sama dan bercat seragam.
“Kris! Ayo pulang!” Ayah menghentak lenganku, membuatku mengikutinya dengan langkah tersuruk.
“Sebenarnya itu tempat apa, Ayah?” aku tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
“Itu rumah para bidadari, Kris.” Ayah menyahut setengah hati.
“Maksud Ayah penghuninya para bidadari?”
Ayah mengangguk.
“Aku ingin melihatnya, Ayah. Sekarang!”
“Tidak boleh Kris! Penglihatanmu bisa buta jika kau memaksa masuk ke sana,” suara Ayah meninggi. Aku mengernyitkan dahi. Bermacam pertanyaan timbul tenggelam dalam benakku. Aku nyaris membuka mulut ingin bertanya lagi ketika sekelebat kulihat wajah Ayah mengeras. Membuat bibirku mendadak---bungkam.
***
Rumah bidadari. Istilah itu melekat erat dalam pikiranku, sekaligus menyisakan tanda tanya cukup besar. Benarkah ada bidadari yang tinggal di bumi ini? Bukankah di dalam buku dongeng yang kerap kubaca, para bidadari itu lebih suka tinggal di kahyangan?
Penglihatanmu bisa buta jika kau memaksa masuk ke sana. Oh, mengapa Ayah berkata demikian? Bukankah para bidadari itu cantik jelita? Bagaimana mungkin kecantikan membutatakan mata? Kukira menyegarkan mata itu jauh lebih masuk akal.