Rasanya ingin menangis jika mengingat hal itu. Bagaimana aku nyaris memukul Mike hanya gara-gara ia minta dibelikan bola. Bukan harga yang menjadi masalah. Tapi Mike itu, ia anak perempuan!
“Memang salah anak perempuan suka bola, Pa?” Mike sempat memprotes.
“Bukan soal salah atau tidak. Tapi ini menyangkut kepatutan, Mike,” aku mencoba memberinya pengertian. Tapi dasar Mike, ia mewarisi watak keras kepalaku.
“Kalau Papa nggak mau membelikan Mike bola, no problem! Mike bisa beli sendiri kok,” ujarnya kesal seraya meninggalkan ruangan.
“Tunggu, Mike! Papa belum selesai bicara.”
Mike tidak menggubris. Ia tergesa ke luar rumah. Menghidupkan motornya dan berlalu entah kemana.
***
Kegilaan Mike terhadap bola sudah terlihat sejak masih usia balita. Ia tampak antusias jika aku membawanya pergi menonton pertandingan bola baik yang digelar di stadion maupun di layar televisi. Ia bisa mengimbangi kehebohanku, menirukan yel-yel dengan semangat luar biasa. Mike hafal nyaris semua pemain bola ternama dunia. Ia adalah penggemar berat MU. Pengagum Cristiano Ronaldo.
Dan kegilaannya terhadap bola berlanjut hingga usianya menanjak remaja. Bahkan terkesan lebih parah. Ia mengoleksi segala atribut yang ada kaitannya dengan dunia sepak bola. Dinding kamarnya dipenuhi foto-foto pemain bola favoritnya.
“Matikan lampu, Mike! Hari sudah larut, besok kamu harus sekolah!” Mary kerap menegurnya saat ia diam-diam menonton pertandingan Piala Dunia lewat ponselnya. Tapi sepertinya Mike mengabaikan teguran Mary. Ia terus saja memanjakan matanya. Menikmati keseruan pertandingan bola hingga lupa waktu.
Bagi Mike, bola sudah menjadi semacam candu.