Sebenarnya aku tidak suka mengatakan hal ini. Tapi memendam perasaan sendiri sungguh sangat tidak nyaman. Begitu tersiksa. Jadi kukira aku butuh seseorang, teman atau siapa saja yang bersedia mendengarkanku.
Dan pilihanku jatuh pada sosok Ra.
“Sudah berapa lama hal ini terjadi padamu, Biy?” seperti biasa Ra menanggapi keluh kesahku dengan tenang.
Aku terdiam. Menatap sorot mata Ra. Memastikan apakah ia benar-benar peduli padaku.
“Kau harus ceritakan semua secara detil, Biy. Jangan sepotong-sepotong,” Ra membujukku. Ia menghadiahkan sebuah senyuman. Senyum manis yang membuatku menyerah.
Dan mulailah aku menceritakan semuanya kepada Ra. Semua, tak ada yang kusembunyikan.
“Aku jadi ingin menyaksikannya sendiri, Biy, dengan mata kepalaku. Benarkah kau---mengidap penyakit aneh seperti yang kau ceritakan.”
***
Malam itu juga Ra memutuskan untuk mengadakan penelitian terhadap diriku. Aku tidak bisa mencegahnya. Walau sudah kuperingatkan, tapi Ra tetap ngotot ingin menginap di rumahku. Ia beralasan, yang dilakukannya ini berhubungan erat dengan pekerjaannya, sebagai seorang psikiater.
Ra menempati kamar tamu yang bersebelahan dengan kamarku. Kami baru saja menyelesaikan makan malam. Duduk-duduk sebentar kemudian bersiap-siap menuju kamar tidur.
Mendadak kepalaku terasa pusing. Itulah gejala penyakit aneh yang kuderita bakal muncul.