Kehilangan menyeruak dada
Bersekutu dengan gerimis, berebut jatuh
Kabar duka itu, mengapa begitu rapi kau sembunyikan dari penglihatanku?Â
***
Pak Suyono Apol, Bukan Sekadar Teman Dunia Maya
Siapa Pak Suyono Apol?
Bagi kner senior pasti tahu siapa beliau. Beliau adalah pembaca setia Kompasiana yang humble, humoris, dan kadang kritis.
Saya sendiri mengenal beliau cukup lama. Sejak pertama kali menulis di Kompasiana tahun 2015, Pak Suyono Apol sudah rajin mengunjungi tulisan-tulisan saya. Meninggalkan jejak komentar di sana. Kadang beliau memberi support, juga masukan-masukan sekiranya mendapati tulisan-tulisan saya banyak typo atau menemukan kalimat-kalimat tidak logis. Boleh dikata, Pak Suyono Apol adalah "polisi bahasa" yang mengawasi karya-karya saya.
Ya. Bisa jadi inilah pertemanan dunia maya terlama dan terunik yang pernah terjalin di antara kami.
Terlama?
Iya. Karena kami berteman hampir 9 tahun!
Lalu uniknya di mana?
Di sini. Selama kami berteman, Pak Suyono Apol tidak sekali pun menunjukkan jati dirinya, tidak menceritakan siapa beliau sebenarnya, juga bagaimana wujud profil aslinya.
Pernah suatu hari saya meminta---dengan hormat dan amat sangat agar beliau berkenan---sekali saja memberitahu wajah aslinya kepada saya. Namun, usaha saya gagal. Pak Suyono tetap kekeuh bersembunyi di balik foto profilnya, yakni seorang lelaki berumur, botak dan berkumis tebal.
Kebaikan yang Tak Terlupakan Seumur Hidup
Ada kisah tak terlupakan seumur hidup yang pernah saya alami berkaitan dengan diri Pak Suyono Apol.
Pada tahun 2017, saya terjaring sebagai nominasi Best in Fiction di Kompasiana. Jauh-jauh hari saya sudah mendapat undangan via email dari pihak Kompasiana untuk hadir di ajang Kompasianival yang akan digelar di daerah Kemang-Jakarta. Kala itu, karena suatu hal, saya ragu apakah saya bisa datang atau tidak.
Kiranya Pak Suyono Apol membaca keraguan hati saya. Segera beliau menghubungi saya via WA.
"Dikau datanglah! Segera pesan tiket KA dan penginapan di daerah Kemang. Nanti daku yang handel semua biayanya."
Sungguh. Ingin menangis rasanya jika mengingat kejadian itu. Sebegitu baiknya seorang lelaki yang tidak saya ketahui siapa dia, bagaimana rupanya, di mana tempat tinggalnya, tetapi beliau tidak segan membantu agar saya bisa berangkat ke Jakarta mengikuti acara yang digelar setiap tahun itu.
Dua Penghargaan Saya Persembahkan untuk Pak Suyono Apol
Kita tidak pernah bisa memilih akan bertemu dengan siapa, dan tidak bisa mencegah akan berpisah dengan siapa.
Di penghujung acara Kompasianival, dua kali nama saya dipanggil. Ini sungguh sesuatu yang mengejutkan sekaligus mengharukan.
Alhamdulillah. Saya terpilih menjadi Best in Fiction dan People Choice sekaligus. Dua piagam, dua piala, dan dua amplop saya terima dengan penuh rasa syukur.
Dan, begitu turun dari atas panggung, mata saya sibuk mencari-cari. Apakah di antara kerumunan kner yang malam itu menghadiri perhelatan Kompasianival terdapat sosok Pak Suyono Apol? Sosok lelaki baik yang kepadanya, sungguh, saya ingin menghaturkan banyak terima kasih dan menunjukkan dua piala serta penghargaan di tangan saya.
Tapi saya tidak menemukan sosok unik itu. Meski begitu saya tersenyum. Saya tahu Pak Suyono Apol pasti ada di sana. Berdiri di antara orang-orang yang tak terhitung jumlahnya itu.Â
Ya, saya meyakini akan hal itu! Insting saya yang mengatakan demikian. Terutama ketika tidak lama kemudian sebuah pesan via WA masuk ke ponsel saya.Â
"Selamat, ya. Dikau mendapatkan dua penghargaan sekaligus. Jangan pernah berubah. Tetaplah menjadi diri dikau seperti ini."
Pesan itu disertai foto saya di atas panggung saat menerima penghargaan. Sontak mata saya berkaca-kaca.
"Tidakkah panjenengan ingin bertemu saya? Saya ingin mengucapkan terima kasih."
Beliau tidak menjawab. Hanya mengirim emoticon bola berwarna merah.
***
Lelaki yang Tak Sempat Pamit Pergi
Sembilan tahun sudah kami berteman baik. Selama itu pula beliau masih rajin singgah di lapak saya setiap kali saya memosting tulisan di Kompasiana. Sampai kemudian saya merasakan suatu kejanggalan. Beberapa bulan terakhir ini beliau seolah menghilang. Semula saya berpikir, beliau pasti sedang sibuk. Namun begitu saya sedikit lega, sebab beliau masih suka melihat status WA saya.
Dan, kejanggalan itu terjawab sudah. Ketika kabar duka itu tidak sengaja saya baca dari WAG para penulis di Kompasiana, bahwa Pak Suyono Apol telah berpulang menghadap sang pemilik kehidupan di bulan Juli 2024 lalu.
Innalillahi wa inna ilaihi raji'un.Â
Meski terlambat, izinkan saya tetap menuliskan ini. Menuliskan kisah persahabatan kami yang unik dan indah. Berharap beliau, Pak Suyono Apol membacanya dari atas sana sambil tersenyum bahagia.
(Dialog Imajiner) :
"Pak, mengapa panjenengan pergi begitu saja tanpa pamit kepada saya?"
 "Itu karena daku tidak ingin melihat dikau menangis."
"Dan, sekarang panjenengan lihat. Saya tidak bisa mencegah mata ini untuk tidak menangis..."
Angin pagi pun berembus perlahan. Saya kembali melihat emoticon bola merah itu, menggelinding jauh.
Selamat bertemu kekasih sejati, duhai lelaki baik. Tempat terindah telah disiapkan untuk panjenengan. Amiin.Â
***
Malang, 31 Agustus 2024
Lilik Fatimah Azzahra
Artikel ini saya dedikasikan untuk Alm. Pak Suyono Apol, Lelaki Baik yang Tak Sempat Pamit Pergi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H