Tidak berlebihan kiranya jika saya menganggap perolehan Award itu sebagai peristiwa paling bersejarah dalam kehidupan saya. Mengingat saya hanya seorang ibu rumah tangga biasa, yang tidak memiliki basic formal di dunia kepenulisan. Saya berangkat menulis di Kompasiana hanya berbekal nekat. Saya tidak pernah belajar atau mengikuti pelatihan menulis di suatu lembaga atau sekolah apa pun. Boleh dikata saya belajar sendiri (secara otodidak).
Bisa meraih penghargaan bergengsi di ajang Kompasianival 2017 berdampingan dengan penulis-penulis senior yang tidak diragukan lagi kepiawaiannya dalam menulis, sungguh rasanya seperti mimpi.
Cuan Terbanyak yang Pernah Saya Dapatkan dari Menulis di Kompasiana
Kiranya tidak hanya 2 Piala dan Piagam penghargaan yang saya terima di ajang Kompasianival 2017 itu. Pihak Kompasiana juga memberi apresiasi berbentuk uang sebesar 6 juta rupiah. Sungguh, sebuah nominal yang cukup besar dan sangat berarti bagi saya di kala itu.
Lagi-lagi saya hanya bisa berucap syukur. Alhamdulillah. Matur nuwun Gusti.
Dapat Cuan Lagi dari "Tumbal Pesugihan", Cerpen Mistik yang Berhasil Mengalahkan Artikel Politik
Dari seribu lebih cerpen yang saya titipkan di Kompasiana, ada sebuah cerpen yang sempat menghebohkan. Cerpen berjudul "Tumbal Pesugihan"---yang tadinya saya tulis sekadar untuk hiburan semata, ternyata booming. Cerpen itu meledak tidak tanggung-tanggung. Tingkat keterbacaannya mengalahkan artikel politik yang biasanya mendominasi rumah besar Kompasiana. Dalam waktu singkat cerpen itu tembus sampai di angka 48 ribu viewer.
Tentu saja saya sangat terkejut sekaligus senang. Apalagi cerpen tersebut tayang saat suhu politik sedang panas-panasnya.
Begitulah. Adakalanya kehadiran sebuah cerpen seolah-olah sudah ditakdirkan. Lihatlah! Bagaimana ia mampu mengalihkan perhatian dan memberi sejenak penghiburan.Â
Alhasil, dari cerpen ini saya meraih K-reward yang bernilai lumayan.Â
Menjadi Narasumber Gara-gara Menulis di Kompasiana