"Apakah Nyonya baik-baik, saja? Maksudku---setelah mendengar pengakuan dari suami Nyonya." Hati-hati aku mengajukan tanya. Nyonya Ellen menaikkan bahunya sedikit.
"Perempuan adalah makhluk paling unik, Nak. Sulit ditebak isi kepala dan isi hatinya. Contohnya aku. Aku pernah menyuruh suamiku menikah lagi. Tapi ketika ia benar-benar melakukannya, aku sedih." Nyonya Ellen menjawab murung.
"Kau sudah pernah jatuh cinta, Nak?" Tiba-tiba Nyonya Ellen menoleh ke arahku. Agak gugup aku menggelengkan kepala.
"Kelak jika kau sudah merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta, kau akan paham kata-kataku barusan." Nyonya Ellen berkata lirih. Wajahnya yang putih tampak semakin putih saat terkena sorot cahaya bulan yang menerobos masuk dari balik jendela.
Di luar malam merayap kian jauh. Nyonya Ellen sudah tidak bercerita apa-apa lagi. Kukira, ia sudah lelah dan mengantuk.
"Nyonya ingin saya melakukan sesuatu?" Aku menawarkan diri. Tapi Nyonya itu menggeleng.
"Pertemuan kali ini sudah cukup, Nak. Besok malam kau boleh datang lagi. Tapi, sebelum pulang ambillah upahmu di sana."
Nyonya Ellen menunjuk ke arah meja rias. Sebuah amplop tebal berisi uang, upah pertamaku, tergeletak di atasnya.
***
Keluar dari rumah mewah itu aku masih harus berjalan kaki untuk sampai ke jalanan besar. Kabut mulai turun mengaburkan penglihatan. Langkahku sedikit terseok dibuatnya.
Seorang satpam berdiri di dekat portal pembatas jalan. Aku mengangguk kecil ke arahnya. Tapi satpam itu tidak merespon anggukanku. Ia diam bagai patung dan membiarkanku berlalu begitu saja melewatinya.
Lega sekali rasanya ketika melihat taksi yang kupesan sudah menunggu di bahu jalan. Setengah berlari aku mendekat, membuka pintu mobil, lalu masuk ke dalamnya dan duduk menyandarkan punggung.