Seorang lelaki baru saja menikahi puisi. Ia gelar pesta bersama senja dan burung camar. Ia kenakan tuxedo dari serpihan bulu angsa, dan pantofel terbuat dari pecahan purnama yang terjatuh di pepucuk ranting cemara.
Lelaki dan puisi menghabiskan malam di sebuah kamar sempit. Takada harum mawar menguar di udara. Takada ranjang pengantin berselubung kain sutera. Hanya ada selembar kertas koran, cukup untuk menampung separuh badan.
Lelaki dan puisi tidur berhimpitan. Menghitung dingin, menjumputi sisa-sisa kenangan yang tak sempat diabadikan. Sesekali bibir mereka berpagut. Tangan saling bertaut. Mengusir kabut yang berebut datang melangut.
Seorang lelaki telah menjadi suami dari sebuah puisi. Ia tak lagi sendiri. Tak pula merasa kesepian. Ia mencoba bahagia menapaki sisa usia yang tinggal beberapa jengkal.
***
Malang, 16 Februari 2023
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H